Perubahan ialah hal yang memang senantiasa terjadi. Pada masak kanak-kanak tubuh kita kecil, setelah dewasa menjadi lebih besar. Dahulu tanah terasa lapang, kini banyak bangunan berdiri. Dulu kita bermain-main di tegalan sawah, kini sawahnya telah berubah menjadi rumah. Burung-burung balam telah tak terlihat lagi. Juga pemandangan, nuansa dan suasana yang dulu begitu akrab. Kini tak ada lagi. Perubahan dan waktu memang kadang kala menelan hal-hal indah di masa lalu. Menjadikan kenangan lebih berarti karena yang dikenang tak ada lagi.
Pada tahun 1966, beberapa bulan setelah peristiwa G-30-S/PKI, seorang penulis bernama Ghazali ngelangut mengenang masa-masa yang telah berlalu di Ibu Kota. Ia mengingat-ingat suasana Jakarta dalam 24 jam pada masa kanaknya dahulu. Sejak bangun pagi, hingga akan tidur lagi, Jakarta selalu dihiasi aneka jajanan khas. Ghazali mengenang 30 tahun yang lalu, 30 tahun sebelum 1966 atau tahun 1930-an atau 80 tahunan dari waktu kita sekarang ini.
Pada masa 1930-an itu, masih ada orang Tionghoa yang menjual asinan dengan pikulan yang ditutup kain merah penghalang debu. Masih ada juga penjual rebusan. Namun, pada tahun 1960-an semua itu mulai sulit ditemui. Jakarta telah menjadi metropolitan dan menelan berbagai tukang dari kalangan bawah. Mereka yang berdagang dengan pikulan semakin tersingkir, kalah bersaing dengan warung-warung yang semakin mewah.
Kini, di masa kita ini, tak banyak lagi yang dapat dikenang selain gemerlap mewah lampu-lampu dan layanan ojek dalam jaringan. Dengan benda-benda ajaib di tangan kita, makanan dapat diantarkan langsung ke depan pintu rumah, rumah susun, hotel, atau apartemen.
Jakarta selalu menyingkirkan mereka yang tak mampu bersaing. Menenggelamkan yang tak bermodal kuat. Jakarta selalu saja menawarkan pundi-pundi bagi yang berpunya dan menyingkirkan mereka yang papa.
Mari kita mengenang (atau mengenal?) kueh doger, apem tjukit, kinca santen, kue sumping, kue unti, ancemon, gambas, malaka, jakin, lokio dan lobi-lobi. Meski tak mengenal rasanya, paling tidak kita tahu namanya.
***
Makanan Khas Jakarta: Nasi Uduk, Kue Doger, Kue Pancong dan Gado-Gado Ulek atau Siram
Oleh: Ghozali
Obrolan yang paling mengasyikan di antara sekian banyak obrolan adalah obrolan tentang makanan, biasanya hingga berlarut-larut. Dimulai dari makanan yang baru saja dihadapi sampai-sampai kepada makanan yang sudah jarang didapati.
Penduduk Jakarta di kampung-kampung biasanya membawakan obrolan ini di waktu mereka sedang senggang bermalas-malasan sesudah mereka bekerja. Waktu yang paling lazim ialah di waktu tengah hari, sedang matahari terik antara pukul 15.00-16.00 sore. Atau malam hari sesudah sembahyang isa menjelang waktu tidur. Jika mereka mengobrol tengah hari, maka biasanya mereka berkumpul di tempat yang teduh berkelompok beberapa orang sambil tidak berbaju karena panas. Jika malam, maka orang Jakarta kelihatan rapih ada yang berpakaian kain dengan baju sadaria, atau berpakaian rumah yang serba bersih.
Pembicaraan dimulai dengan perkataan iseng yaitu “ngapain nih kumpul-kumpul, ape ade kupi pait?â€.
Pertanyaan itu dijawab oleh kawan-kawan yang telah berkumpul: “Ente ape-ape lari ke kupi pait aje! Lihat dulu dong tanggal berape nihâ€. Orang yang baru datang itu biasanya menjawab: “Pantesnya kalo kumpul-kumpul gini ade kupinya ame kua talam. Kan lebih asikâ€. Sesudah dialog yang serba iseng itu, maka mulailah dengan pembicaraan tentang makanan yang sangat mengasyikan, sambil mengemukakan apa-apa yang menjadi favoritnya atau yang pernah mengesankan.
Apabila kita mengingat tentang makanan yang ada di Jakarta ini, maka kita akan bisa mendapatkan suatu rangkaian cerita yang panjang. Dari waktu ke waktu, kehidupan di Jakarta diikuti dengan hidangannya yang spesial. Demikian pula zaman demi zaman, punya modenya sendiri-sendiri. Hal ini tidaklah mustahil, karena Jakarta dari waktu ke waktu berkembang dengan pesat.
Ketika kami masih anak-anak, yaitu kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, kehidupan di Jakarta dibangunkan oleh teriakan anak-anak pedagang makanan pagi. Hingga kini masih mengiang suara yang berbunyi: “Yoooi, nasi Uduk, ketan Urab, yooiâ€. Teriakan ini sangat spesifik. Bagi orang Jakarta asli teriakan semacam ini membawa kenang-kenangan yang sangat berkesan. Betapa tidak, karena akan segera terbayanglah di pikiran kita, sambil menitikan air liur, macam-macam makanan yang khas. Makanan yang didagangkan di pagi hari adalah nasi Uduk yang sangat lezat, gurih dan wangi; seterusnya kita dapati pula nasi Ulam yaitu nasi dengan lauk-pauknya yang berupa sayuran.
Ketan Urab bagi orang Jakarta adalah santapan yang paling kena untuk pagi hari, biasanya dengan diberi sambel cuka yang pedas atau kalau di tempat yang agak besar seperti warung nasi, biasanya dengan semur daging. Talas rebus, pisang goreng, ubi goreng dan kueh Doger atau kueh Pancong alias Bandros, merupakan sasaran pagi yang tidak pernah kurang mendapat perhatian. Makanan serupa ini biasanya diperdagangkan oleh tukang-tukang kopi yang tersebar di seluruh pelosok kota Jakarta.
Agak siang sedikit, yaitu kira-kira pukul 9 sampai pukul 11, dunia makanan telah berubah. Nasi Uduk, talas rebus, nasi Ulam dikalahkan oleh makanan lain. Di waktu ini, maka orang Jakarta dihadapkan kepada ketupat sayur yang sangat mantep, gurih dan agak pedas, kue-kue yang berupa apem tjukit (apem putih) dengan kinca santennya, kue Sumping, Putu Mayang, Bugis, ketan item, kue Unti dan sebagainya. Makanan ini didagangkan oleh orang-orang pinggiran kota seperti Palmerah atau Kebayoran Lama. Dikelilingkan dengan pikulan sambil meneriakan “Kit, kit, Apem, Apemâ€. Di waktu yang bersamaan kita mendapatkan pula tukang tape. Tape Jakarta yang bentuknya kecil-kecil biasanya dikombinasi dengan singkong rebus atau ancemon (singkong yang digangsor).
Dahulu kombinasi makanan ini bisa dibeli hanya dengan satu sen, sedangkan kalau kita membeli seharga segobang, maka makanan itu bisa dihadapi oleh tiga orang. Tukang gado-gado ulek, pada saat antara pukul 9-11 juga termasuk pedagang yang sibuk. Jakarta memang terkenal dengan gado-gadonya, tetapi sebenarnya antara sekian banyak gado-gado di Jakarta ini kita dapat memisahkan mana yang spesifik Jakarta, mana yang sudah kena pengaruh luar. Gado-gado Jakarta ada dua macam, yaitu apa yang dinamakan gado-gado ulek dan gado-gado siram. Kedua gado-gado ini mempunyai waktu beredar yang berlainan.
Antara pukul 9-11 adalah gado-gado ulek yang penjualnya kebanyakan orang Kuningan, sedangkan siang hari mulai pukul satu sampai sore, beredar gado-gado siram juga diperedarkan oleh orang-orang dari Kebayoran Lama. Gado-gado ulek Jakarta benar-benar merupakan makanan yang menarik, terdiri dari macam-macam sayuran rebus seperti toge, bayem, kangkung, gambas, ketimun, pare, dilengkapi dengan tahu dan tempe. Untuk daya penarik maka biasanya ditambah lagi dengan jagung rebus, serta kerupuk merah. Nikmatnya gado-gado Jakarta ini ialah karena bumbunya yang medok dan pedas sedikit.
Makanan tengah hari yang paling cocok adalah asinan atau rujak. Kiranya masih teringat pedagang-pedagang asinan yang berkeliling dengan pikulannya yang berisi macam-macam buah-buahan bahan rujak atau asinan. Sangat pantas sekali jika pikulan itu ditutup dengan kain merah untuk penghalang debu. Asinan Jakarta dikenal dengan sebutan “Jakinâ€.
Bicara tentang asinan ini, maka kita dapat membedakan antara asinan sayuran yang biasa terdiri dari toge mentah, ketimun, kol, tahu putih mentah, lobak, sawi dan lokio; dan asinan buah-buahan seperti bangkuang, kedondong, lobi-lobi, malaka, salak, mangga muda, dan sebagainya. Asinan semacam ini biasanya diperjualkan oleh orang Tionghoa. Sangat khas sekali cara menawarkannya, yaitu dengan menggunakan sebuah bel yang dipasang di atas pikulan. Masih terbayang di ingatan kami gaya pedagangnya yang berjalan penuh keyakinan bahwa dagangan akan menarik perhatian orang. Ia tidak berteriak menawarkan, kecuali memukul belnya berulang-ulang. Jika orang mendengar bunyi bel pedagang ini, orang bisa segera terbangun dan memanggilnya.
Hari memasuki sore. Udara semakin sejuk. Pergantian suasana itu disertai pula dengan pergantian makanannya. Semua makanan yang tadi siang meramaikan kota Jakarta diganti dengan makanan sore yang berlainan cita rasanya. Jenis makanan sore Jakarta yang paling khas sekarang ini sudah sangat jarang terlihat, adalah apa yang disebut rebusan.
Di waktu sore ini dahulu, Jakarta diramaikan oleh tukang-tukang rebusan yang sebagian besar orang dari Cisalak atau pinggiran Jakarta. Makanan rebusan ini terdiri dari kacang rebus, kacang tanah atau kacang Bogor, rebus pisang, rebus ubi, rebusan tike, pisang Lampung dan lain-lain yang berbentuk umbi-umbian. Makanan semacam ini sungguh-sungguh merupakan makanan kecil juga mengasyikan. Tukang-tukang rebusan biasanya berkeliaran terus sampe jauh malam. Makin jauh malam biasa makin banyak orang yang mencarinya, hal ini tidak lain karena orang memerlukan makanan ini untuk mengisi keisengannya.
Makanan malam yang paling cocok bagi suasana di Jakarta ini adalah sate kambing dan sop. Dewasa ini banyak tukang-tukang sop kambing, tetapi keadaannya sudah jauh berbeda dengan beberapa waktu yang lalu. Sekarang sate dan sop makanan yang mewah, tetapi dulu setiap orang bisa membelinya bahkan sampai kepada anak-anak pun yang hanya mempunyai uang terbatas mampu membelinya. Sop yang khas di Jakarta adalah sop buntut, atau sop tangkar atau iga kambing. Makannya dari mangkok dan andai kata makan dengan nasi maka nasinya adalah nasi bungkus, juga tidak terlalu banyak tetapi cukup untuk mengisi perut yang tidak lapar. Orang Jakarta malah senang sekali makan sop ini tanpa nasi.
Tukang-tukang sate ini adalah orang-orang yang mengantar manusia di Jakarta ke alam tidurnya. Jauh tengah malam, di mana orang-orang sudah merebahkan badan di tempat tidur dan telah pula menutup matanya, jeritan tukang sate ini masih juga terdengar. Demikianlah kehidupan orang Jakarta yang dari mulai bangun sampai kepada tidurnya terus diiringi dengan makanan. Sedangkan tidurnya pun tidaklah mustahil jika dibayang-bayangi oleh mimpi tentang makanan yang menggiurkan selera.
Sekarang Jakarta telah berubah. Menjadi kota metropolitan. Tukang-tukang dagang makanan telah berganti mode pula. Dulu dengan pikulan tetapi sekarang dengan warung-warungnya yang serba mewah. Sepanjang jalan ramai penuh dengan kedai-kedai sate, soto, mie goreng, baso dan lain sebagainya yang dahulu hanya merupakan pedagang-pedagang pikulan yang sederhana tetapi tidak kurang meninggalkan kesan.
Sumber tulisan: Majalah Djaja, 18 Juni 1966, halaman 27 dan 29.