Bertamasya ke Alam Fikiran
Bagikan

Bertamasya ke Alam Fikiran

Candu terhadap benda-benda yang berbentuk dan dapat dilihat dengan mata sering kali membuat kita terlupa akan yang di luar benda-benda itu.

Pada suatu ketika, seorang anak berhasil menggunakan kata karena dengan hampir baik dan benar. Ia berkata, “Ayah terpeleset karena berjalan terburu-buru di lantai yang basah.” Keberhasilan menggunakan kata karena merupakan sesuatu yang berbeda dengan kemampuan menyebut kata Ibu atau Bapak. Kita dapat mengenal bapak itu berkumis dan ibu selalu memakai gamis ketika ke luar rumah. Bapak dan ibu bisa dilihat. Kita bisa mencium tangannya dan bisa berbicara dengan keduanya. Berbeda dengan karena. Kata tersebut tidak ada rujukannya pada benda-benda. Ia berbeda dengan pensil, sepeda, televisi atau bola sepak. Karena bukan sebuah benda, melainkan sebuah alat menalar yang hanya wujud di fikiran. Karena tak berwarna, tak berbentuk, tak berbau, dan tak dapat diajak bicara. Karena bukan kucing, bukan roti, dan bukan pula matahari.

Karena tidak sendirian. Ada banyak kata yang senasib dengannya. Dan, yang, maka, jika, atau, dan beberapa kata lainnya juga tak memiliki rujukan terhadap benda-benda. Ia lebih konseptual dan berlaku dalam gagasan. Meski demikian, kata-kata ini secara jelas dapat difahami dan terhubung dengan kenyataan kebendaan kita sehari-hari.

Kalau kita sedikit mendalami, ketika kita menyebut kata aku atau saya sebenarnya yang kita rujuk tidak benar-benar badan jasmani yang kita pakai untuk berjalan atau bertepuk tangan. Kesadaran akan keakuan atau kesayaan ialah kesadaran abstrak tentang diri. Yang kita rujuk bukan badan (atau paling tidak bukan hanya badan kita) tetapi sebuah gagasan tentang aku yang berwujud tak benda. Yang kita rujuk dengan kata aku atau kata saya adalah hakikat diri, jiwa kita yang immaterial, yang “tak benda”.

Banyak lagi keberadaan lain di luar benda-benda yang berlalu lalang dalam benak kita, tetapi kita kurang atau malah tidak menyadarinya. Angka-angka adalah juga salah satunya. Gagasan tentang lima sebenarnya berbeda dengan 5 meter, 5 kg, 5 buah jeruk, 5x, atau 5 orang. Perkalian seperti 4 x 4 = 16 berbeda dengan empat buah kotak berisi masing-masing 4 buah pensil yang artinya ada 16 pensil dalam 4 kotak itu. Tiga kali minum sebutir obat setiap hari juga berbeda dengan 1 x 3 atau 3 x 1. Meskipun kita membuat beragam simbol untuk angka-angka seperti bentuk-bentuk 1 dan 9, tetapi sebenarnya satu atau sembilan itu tak berwarna, tak berbentuk, tak merujuk benda-benda konkret. Itu karena angka-angka tersebut abstrak, berlaku di gagasan kita dan dapat terhubung dengan kursi atau burung sehingga menjadi dua kursi atau sembilan burung.

Kita tak dapat mengatakan bahwa dan, yang, karena, aku, 1, 5, 9 dan hal-hal abstrak lainnya merupakan sesuatu yang tidak ada hanya karena ia tak berbenda dan tak berbentuk. Ia tak balok, tak bulat, dan tak limas tetapi bukan berarti tak ada. Hanya saja, kerap kali kita memahami yang wujud hanya sekadar yang dapat kita cerap dengan indera zahir. Kita seringkali menyatakan satu itu tidak benar-benar wujud sebab yang ada: satu batang pensil atau satu buah mangga.

Tentang aku pun demikian. Kita kerap kali mengurusi aku yang (dianggap) konkret, berupa susunan organ bernama tubuh. Kita jarang melihat aku yang melampaui ketubuhan, aku yang kelak ketika mati memisah dari tubuh atau aku yang menyadari keberadaan diri disertai kemampuan merujuk diri itu sebagai aku.

Candu terhadap benda-benda yang berbentuk dan dapat dilihat dengan mata sering kali membuat kita terlupa akan yang di luar benda-benda itu. Padahal, kita dapat memperlakukan benda-benda itu dalam banyak kemungkinan di benak kita; membuka cakrawala pencapaian yang jauh; meninggi dan lebih meninggi lagi; memanjati keberadaan sampai yang paling wujud.

Misalkan begini, pada suatu ketika, boleh jadi kita pernah melihat seorang presiden dengan wajah seperti Bapak Gepeto, pembuat Pinokio itu. Pada kali lainnya, kita melihat seorang lelaki menggunakan baju merah bergambar banteng. Di waktu yang lain pula kita melihat seorang perempuan dengan sanggulnya yang sangat besar. Penglihatan-penglihatan itu kita simpan dalam benak kita. Ada daya dalam jiwa kita yang menyimpan ingatan-ingatan itu.

Kita juga dapat menggabung-gabungkan suatu ingatan dengan ingatan lainnya di suatu waktu. Sambil senyum-senyum, kita dapat bayangkan seorang presiden berwajah Bapak Gepeto memakai baju merah dan bersanggul sedang mengayuh sepeda bersama para petani. Bayangan itu tidak pernah ada di kenyataan. Tak pernah ada presiden yang seperti itu. Namun, kita dapat menyusunnya secara sempurna di benak kita.

Kemampuan daya akliah jiwa kita tentu bukan hanya dapat digunakan untuk iseng-iseng belaka. Kita juga tak pernah sungguh-sungguh mampu mencerap ukuran bumi, jarak matahari, atau luasan galaxi Bima Sakti. Mata dan benak kita tak benar-benar mampu menadah itu semua karena keterbatasan. Tanpa daya khayal yang rasional (mufakkirah), kita tak dapat mencapai Andromeda bahkan sekadar memahami bumi itu bulat.

Tentu ada banyak manusia yang lebih sering menggunakan daya akliahnya untuk membayangkan hal-hal semacam presiden berparas Bapak Gepeto yang memakai sanggul atau membayangkan segala macam bayangan yang bukan-bukan, yang kurang faedahnya bagi kehidupan.  Akan tetapi, ada pula manusia yang lebih sering menggunakan fikirannya untuk mencapai Andromeda dan bahkan sesuatu di balik segala keberadaan. Mutu manusia sering kali ditentukan oleh caranya menggunakan kemampuan akliahnya, kemampuan menata jiwanya.

Kita tak dapat memungkiri bahwa kita berada di dunia benda dan yang bukan benda. Jiwa kita aktif berlalu lalang di antara kewujudan yang benda dan kewujuduan yang bukan benda itu, mengunjungi sekian derajat kewujudan yang kadang-kadang tidak kita sadari. Kita dapat menyerap berbagai hal (benda atau pun gagasan), menimbangnya, menempatkannya dan kemudian mengingatnya kembali di suatu ketika.

Hal itu dapat diterangkan dengan permisalan berikut. Kita pernah melihat sebuah gelas. Kita menaksir mutu gelas itu. Kita berkesimpulan bahwa gelas itu bermutu baik. Kita simpan kesimpulan itu dalam benak. Pada satu waktu, ada sesuatu yang mengingatkan kita akan gelas itu. Kita bongkar ingatan kita dan kita dapati gelas itu dalam pikiran kita.  Begitulah berlaku pada diri kita, pada jiwa kita dalam mencerap beragam benda dan gagasan.

Jiwa juga sanggup mencapai atau menerima kebenaran. Meski menerima kebenaran tentu saja tidak hanya memerlukan kemampuan nalar, tetapi juga keluasan hati. Yang ada dalam jiwa kita akan menentukan cara pandang kita terhadap kenyataan dan juga kebenaran. Sebuah kenyataan yang dicerap, ditimbang, ditempatkan, dan diingat dalam benak kita ditentukan oleh keyakinan-keyakinan dasar kita.

Seorang yang tak percaya hantu akan menafsirkan bayangan putih di sebuah foto sebagai dampak pembiasan cahaya. Sementara orang yang percaya hantu, boleh jadi melihat bayangan putih itu sebagai sosok makhluk gentayangan. Mereka yang tak percaya Tuhan, akan melihat hujan sebagai kejadian alam biasa, yang mekanis dan berhukum tetap. Sementara yang percaya Tuhan, melihat hujan tak akan pernah turun tanpa perkenan dari-Nya.  

Demikianlah tamasya kita ke alam fikiran yang nyaris setiap waktu bersama kita. Di sanalah, kemampuan untuk menerima dan mencapai kebenaran berada. Yang perlu diingat, cara kita memperlakukan, menguatkan, dan mengendalikan daya akliah kita, tentu akan berpengaruh pada derajat kemanusiaan kita. Mereka yang menggunakan akalnya hanya untuk menyusuri hawa nafsu berbeda dengan manusia yang menggunakan akalnya untuk mencapai keagungan Tuhan.