Yang Pulang dan Yang Tak Kembali
Bagikan

Yang Pulang dan Yang Tak Kembali

“Awalnya saya ingin jadi dosen juga di UI. Tapi di sisi lain tetap ingin kontribusi ke Jombang. Dari pengalaman yang ada akhirnya lebih berat kembali ke Jombang,” kata ayah dua anak.

Pendidikan selalu dianggap sebagai sesuatu yang fundamental dan jalan paling cepat untuk mengubah nasib atau peruntungan. Kini, pendidikan lebih bernilai karier, penghasilan, dan prestise. Tanda utamanya adalah meraih gelar sarjana setinggi-tingginya. Di Indonesia, orang-orang yang hendak menempuh pendidikan tingkat sarjana pergi ke kota-kota atau pusat-pusat pendidikan. Mereka menjalani sedikitnya empat tahun hidup di rantau. Kelulusan dan wisuda biasanya menyisakan kerumitan dalam memilih jalan hidup. Orang-orang rantau kerap kali berada di persimpangan: tetap berada di kota tempatnya belajar atau pulang ke kampung halaman.

Kami mencoba melakukan penelitian ala kadarnya dengan sampel berjumlah tujuh orang saja. Tentu saja, ini tidak mewakili populasi sama sekali. Metode yang digunakan juga metode sambil lalu. Sedikit comotan dari seluruh populasi ini semoga bisa menjadi cerita teman minum teh atau kopi. 

Kami bertanya tentang perbedaan kehidupan di kampung halaman dan di tempat perantauan kepada seorang responden asal Malang. Lelaki yang sempat menempuh kuliah di Depok ini menjawab, “Untuk kehidupan sosial, di lapisan bawah, saya menikmati Jakarta karena banyak suku datang ke sini. Bisa belajar ragam bahasa bahkan pisuhan per daerah supaya saya bisa tahu kita bikin dia marah atau nggak. Selain bisa lihat kecantikan perempuan dari dari suku lain juga tentunya.”

Ada hal serupa yang dikatakan oleh seluruh responden, yaitu kehidupan di kampung halaman cenderung seragam, sederhana, dan statis. Sementara itu, kehidupan di kota besar, khususnya Jakarta, lebih modern, dinamis, variatif, tapi sekaligus rentan menimbulkan stres. Sudah harus mau akrab dengan macet, ketika ingin melepas stres dan berekreasi pun masih harus mengarungi jalan-jalan macet terlebih dahulu. 

Opini bagaimana pengalaman tinggal di Jakarta juga ditambahkan oleh pemuda Malang tadi. Ia mengatakan, “Yang pasti, duit itu 70 persen ada di Jakarta. Karena saya bukan ‘kaum kommuter’, jadi nggak terlalu stres dengan kehidupan Jakarta. Kalau tadi di lapis bawah, yang saya lihat di kelas atas, orang Jakarta itu kaum yang paling metropolitan juga terbaratkan. Saya belajar bahasa campur-campur ala Cinta Laura ya di Jakarta. Malah, teman-teman kuliah saya yang kaum kelas atas jarang sekali mengidolakan Persija. Mereka lebih Manchurian daripada The Jak atau lebih Manchurian daripada orang Manchester sendiri. Salah satu dosen di kampus bisa-bisanya berubah mood saat ngajar kalau MU kalah. Jadi, wajar Persija gitu-gitu aja. Mendingan Aremalah.”

Secara finansial, penghasilan di kampung halaman memang lebih rendah ketimbang di kota atau Jakarta. Tetapi, hal ini juga sejalan dengan biaya hidup. “Jadi, penghasilan di kampung halaman memang lebih sedikit dibanding di kota besar, tetapi biaya hidup juga jauh lebih murah, jadi akhirnya ya sama saja,” ujar seorang pengajar bahasa Jepang di salah satu universitas swasta di Surakarta.

Ada banyak alasan untuk kembali atau tidak kembali ke kampung halaman. Selain soal karier, jodoh, atau penghasilan, cita-cita dan idealisme juga menjadi faktor yang mendorong pilihan tersebut. Seorang pengusaha rendang kemasan asal Lampung yang kini ber-KTP Depok mengatakan bahwa ia tak pernah berencana untuk menetap di Depok. Ia hanya menjalani kehidupannya, tidak terlalu memikirkan untuk kembali ke kampung halaman atau menjadi warga Depok.

Sementara itu, seorang alumnus UI yang telah menjadi ayah dua anak menceritakan tentang pilihannya untuk kembali ke kampung halamannya di Jombang. “Sebetulnya, setelah kuliah saya mencoba pengalaman di Jakarta dulu untuk mengumpulkan modal sosial dan pengalaman kerja. Ketika masih di Jakarta, saya ikut kumpul-kumpul orang Jombang yang di Jabodetabek. Saya amaze sekali ternyata banyak orang keren asal Jombang. Ada wakil dekan FISIP UI juga Jenderal Moeldoko. Tapi, kok ya pas nengok Jombang gitu-gitu aja. Karena takut terjebak di zona nyaman, akhirnya saya memutuskan kembali ke kampung halaman. Saya percaya, di Jakarta sudah banyak orang keren, nggak perlu dipenuhi lagi.”

Sebagai aktivis semasa kuliah dan salah satu seorang Pengajar Muda di Gerakan Indonesia mengajar, ia bercita-cita membuat gerakan yang bermanfaat untuk Jombang. Hal ini didorong dari obrolannya bersama kawan semasa SMA yang mengajak reuni. Dalam obrolan itu, kawannya mengungkapkan isi hatinya. Ia merasa tidak sukses karena hanya kuliah di Jombang. Ayah dua anak ini sampai nyesek dengan ukuran standar kesuksesan macam itu. Apalagi, yang tengah ditunjuk temannya adalah dirinya sendiri. Padahal, ia berkeyakinan, sukses itu adalah tentang besar manfaat yang bisa diberikan pada sekitar. Hal ini pulalah yang membulatkan tekadnya untuk kembali dan mengabdi di Jombang.

Secara sosial, semuanya sepakat, bagaimanapun hidup di kampung halaman lebih nyaman ketimbang kota besar. Selain alasan ketenangan dan ketertiban, menjaga silaturahim dengan keluarga juga menjadi faktor kenyamanan. Namun, sang pengajar bahasa Jepang punya pengecualian. Ia mengatakan bahwa yang sedikit membuat kurang nyaman berada di kampung halaman adalah soal perkawanan. Baginya, walaupun di kampung halaman juga ada teman, baik yang baru maupun yang lama, perbedaan cara pandang cukup memengaruhi rasa nyaman, “Sering kangen sama teman-teman kampus,” ujarnya. “Mindset orang kota lebih open mind,” tambah opini dari seorang PNS Lembaga Ketahanan Nasional. Pengusaha rendang yang juga ikut bergabung dalam perbincangan itu pun mengamini hal tersebut. Ia tak lagi punya teman akrab di kampung halamannya.

Semua responden memang cenderung sepakat adanya “kenyamanan” yang hanya ada di kota besar, yakni pendapatan, pengembangan karier, jaringan, dan infrastruktur yang memadai. Perantauan adalah tempat yang nyaman untuk bekerja sementara kampung halaman dengan pemandangan dan cuacanya adalah tempat yang nyaman untuk leyeh-leyeh.

Agak berbeda dengan pendapat seorang direktur dari CV GiNK Techlonogy (perusahaan web design dan digital agency di Bandar Lampung) yang mengatakan, “Dekat dengan keluarga jauh lebih penting dari materi.” Ia sempat menempuh pendidikan di Surabaya lalu kembali ke kampung halamannya di Lampung. “Sebenarnya, di kampung halaman juga banyak potensi yang menjanjikan. Tidak sedikit orang yang sukses di kampung halaman dengan mengelola potensi daerahnya. Apalagi, persaingan di kampung halaman tidak begitu ketat dibandingkan di kota besar. Sebagai orang asli, karakteristik masyarakat juga bisa kita pahami dengan lebih mudah. Saya berpendapat ketika kita berusaha dengan benar, berusaha dengan sungguh-sungguh maka usaha tidak mengkhianati hasil,” katanya penuh keyakinan.

Ia dan beberapa putra Lampung lainnya mendirikan perusahaan web design dan digital agency pada 2012. Perusahaan tersebut sekarang telah bekerja sama dengan 80 instansi pemerintah dan swasta dengan lebih dari 100 proyek. Mereka memang berkeinginan mendirikan perusahan IT dari daerah. Padahal, sulit dipungkiri, media nasional sering membuat kesan daerah tertinggal dari sisi pembangunan dan kurang trendi dalam pergaulan. Seolah-olah akan sangat sulit dan berat sekali memulai sesuatu yang besar dan menasional dari daerah.

Hal lain juga disampaikan seorang ibu empat anak yang juga bekerja sebagai PNS. Ia menuturkan tentang perkembangan kampung halamannya. Menurutnya, beberapa tahun belakangan ini, perkembangan Madiun, kampung halamannya, tidak terlalu jauh dibandingkan kota besar. “Hanya dalam hitungan bulan, fasilitas dan ketrendian yang ada di kota bisa segera ada juga di kampung. Walaupun untuk sisi daya saing dan kesempatan kerja memang masih lebih banyak di Jakarta. Tetapi, masalah pergaulan dan trendi batasnya jadi lebih kabur. Bahkan sekarang ini hal-hal viral justru berawal dari daerah,” jelasnya mencoba menganalisis. Ia melihat, teknologi ponsel dan media sosial menjadi jalan yang efektif untuk masyarakat daerah mencapai hal-hal yang ada di kota besar. Mengenai perihal yang satu ini, sang pengusaha rendang kemasan pun menekankan, “Orang-orang di kampung halaman atau di perantauan sama-sama gaul, kok. Media jangan lebay, deh.”

Mengenai infrastruktur, pembangunan secara fisik di daerah memang banyak tertinggal ketimbang di kota besar. “Apalagi, IPM-nya masih sangat senjang,” tambah sang direktur perusahaan asal Lampung. Akan tetapi, ini sebetulnya tidak mengherankan. Pembangunan kota besar selalu akan lebih progresif karena jumlah masyarakatnya jauh lebih besar. Sementara, daerah yang tidak sebesar dan sedinamis Jakarta tidak perlu pembangunan yang masif. Daerah-daerah, seperti Malang, Jombang, Madiun, Surakarta, atau Lampung sekalipun belum memerlukan MRT, misalnya. “Pusat bisnis di Malang nggak jauh-jauh amat. Naik sepeda onthel juga boleh. Sehat malah,” jelas pemuda Malang. 

“Malang itu nggak perlu Plaza Indonesia atau GI. Kegedean!” seloroh pemuda Malang lagi. “Emak-emak di Malang juga nggak perlu Gucci atau LV. Mungkin kalau di Jakarta perlu (ada—Red) supaya Ibu Iriana Widodo bisa beli. Supaya terlihat berwibawa jika kunjungan luar negeri dan menjaga martabat bangsa secara lahiriah,” tambahnya.  

Keberimbangan pembangunan antara kota dan desa pada dasarnya tidak terlalu diperlukan. Selain karena jumlah penduduk yang timpang dan kebutuhan yang berbeda, pembangunan yang gencar di daerah justru memberikan dampak yang tidak selamanya positif. “Terkadang, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat kurang memikirkan fasilitas-fasilitas yang dibangun kurang memunculkan kekhasan suatu daerah, baik dari segi bangunan maupun fungsinya. Apalagi, kalau sudah bicara industri. Pembangunannya tidak mengenal ampun, menggusur banyak hal menarik dari daerah, baik secara fisik maupun psikologis (nonfisik—Red). Misalnya, dengan banyak dibangun pabrik, kualitas udara dan air tercemar. Secara sosial juga banyak perubahan. Ibu-ibu yang tadinya masih sempat mengurus anak-anaknya, sekarang siang-malam kerja di pabrik, sawah-sawah ditinggalkan. Semua kerja di pabrik, baik ibu maupun ayah,” cerita sang pengajar bahasa Jepang dengan amat prihatin.

Meski begitu, boleh jadi daerah-daerah di Pulau Jawa masih tidak terlalu timpang dalam berbagai hal dibandingkan Jakarta. Secara umum, infrastruktur di Jawa sudah lebih bagus ketimbang daerah di luar Jawa. 

“Mungkin jika kampung halaman saya di luar Jawa, saya akan merasa iri karena pembangunan tertinggal dan minim, jalanan rusak, BBM langka, listrik nggak ada, sinyal nggak ada, perpustakaan nggak ada. Pemda bajingan, bah!” Pisuh pemuda Malang dengan gaya orang Batak. Pemuda Malang ini memang betul-betul berlatih dan mengamalkan dengan amat baik gaya pisuhan berbagai daerah yang dipelajarinya selama di kota besar.

Pasal alasan untuk memilih tinggal di desa atau di kota juga beragam. Si pengajar bahasa Jepang lebih memilih tinggal di kampung halamanya, Surakarta. Meski gelar yang ia raih ditempuh di universitas di Depok, kesempatan untuk mengaplikasikan ilmunya di Surakarta tidak ia sia-siakan. Selain itu, dekat dengan orang tua juga menjadi alasan kuatnya untuk kembali pulang. “Jodohnya juga dapat orang sekampung!” Katanya seraya tersenyum lebar. Tidak demikian dengan si pemuda Malang yang tengah meniti karier sebagai akademisi yang dianggapnya akan lebih baik jika dikembangkan di kota besar. “Mungkin jika sudah ada prestasi baru bisa balik ke Malang,” katanya menutup wawancara. Sementara itu, ibu asal Madiun yang juga lulusan magister dari Universitas Pertahanan Indonesia punya alasan tersendiri untuk menetap di Jakarta. “Selain karena sudah berkeluarga, saya sendiri tidak kembali ke Madiun karena kompetensi keilmuan yang dimiliki lebih bisa diaplikasikan di Jakarta.”

Pilihan untuk menetap di kota besar seperti Jakarta juga memungkinkan untuk goyah karena beberapa pertimbangan dan berujung pada keputusan untuk kembali ke kampung halaman. Hal itu terjadi pada lelaki asal Jombang yang sempat menempuh pendidikan di Universitas Indonesia ini. “Awalnya, saya ingin jadi dosen juga di UI. Tapi di sisi lain, tetap ingin kontribusi ke Jombang. Dari pengalaman yang ada akhirnya lebih berat kembali ke Jombang,” kata ayah dua anak ini. Kini, ia memang berkarya di Jombang. Meski belum jadi dosen, ia tengah berusaha memajukan Jombang sambil sesekali berkeliling Indonesia membagi pengalamannya dalam bidang pendidikan.