"Supertramp" dan Kehilangan Makna Diri
Bagikan

"Supertramp" dan Kehilangan Makna Diri

“Setiap insan tidak akan pernah lepas dari masalah dan cobaan hidup (balā’). Menghindar atau lari dari permasalahan bukanlah jalan keluar. Setiap permasalahan mesti dihadapi dengan ketegaran iman yang diwujudkan dalam amal saleh serta saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran. Karena pada

There is a pleasure in the pathless woods;

There is a rapture on the lonely shore;

There is society, where none intrudes,

By the deep sea, and music in its roar

I love not man the less, but nature more…


Lord Byron

Siapa pun tidak menyangka jika kelak ia akan menempuh jalan tragis di akhir kehidupannya. Alexander Supertramp, seperti itu ia memperkenalkan dirinya. Dia adalah seorang pemuda lulusan Emory University, Atlanta, GA, yang sedang berkelana mencari makna diri dan arti kebahagiaan. Dalam keadaan tertekan dan ketakutan, ia meluahkan kemarahan jiwanya dengan menyalahkan orang-orang sekitarnya tanpa ada usaha yang patut untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Alex senantiasa berusaha membuat orang lain iba akan nasibnya, namun masyarakat tidak pernah berpihak kepadanya. Dalam benak pemuda ini, orang-orang adalah penyebab utama perselisihan. Kebahagiaan dan keadilan tidak akan pernah ditemukan di dalam masyarakat karena yang ada di dalamnya hanyalah sifat munafik (hypocrites), intrik konspirasi, dan penindasan.

Karena alasan itulah, Alex memutuskan pergi menjauh dari kebisingan hiruk-pikuk masyarakat, berkelana tanpa tujuan, layaknya seorang tunawisma mencari sesuatu yang ia tidak pahami. Tidak ada kebahagiaan hidup yang ia dapatkan. Ia justru menjadi semakin larut dalam kebingungan dan tak kunjung mendapatkan jalan keluar dari masalah yang ia pikirkan. Lelaki ini kemudian memutuskan hidup di alam bebas, di tengah-tengah hutan belantara Alaska, tinggal di sebuah “magic bus” tua demi menghindari masyarakat yang menurutnya tidak akan pernah memahami jalan pikirannya.

Pada penggal akhir hidupnya, ia mulai sadar dan memutuskan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi usahanya terlambat dan terhalang oleh luapan aliran sungai Alaska. Ia terpaksa menanggung rasa kepedihan yang sunyi mengilu, menghadapi tekanan jiwa yang tak tertahankan, dan akhirnya meninggal dalam kesepian. Namun, ia meninggalkan dunia dengan membawa jawaban yang selama ini dicarinya. Mayatnya ditemukan oleh sekumpulan pemburu rusa di dalam magic bus pada 18 Agustus 1992. Dalam buku catatan yang terletak di sampingnya, ia menuliskan jawaban dari kekeliruan sikapnya selama ini: “Happiness only real when shared.”

Penggalan cerita di atas disadur dari film Into The Wild (2007). Sebuah film yang ditulis dan disutradarai oleh Sean Penn dan diangkat dari cerita non fiksi karya Jon Krauker (1996). Karya ini berdasarkan pada kisah nyata perjalanan Christopher Johnson McCandless di hutan belantara Alaska, Amerika Utara, pada tahun 1990.

Kondisi yang dialami Supertramp, jika ditinjau dengan cara pandang Islam, merupakan keadaan jiwa yang tidak tentram (ḥuzn), perasaan takut (khawf) terhadap sesuatu yang ia tidak ketahui, dan rasa kesendirian akibat ketiadaan daya-upaya berbaur dengan orang lain. Kehilangan rasa aman (amn), yakni ketakutan akan keadaan takdir akhir hidup, kelak mengantarkannya pada kondisi penderitaan terhimpit dalam diri dan akal (ḍank atau ḍīq), sehingga ia menjadi lemah dan ketiadaan upaya untuk merenung lebih dalam. Pada akhirnya, mengakibatkan kebimbangan (hamm) dan keraguan (rayb) yang dahsyat dalam hati tentang hakikat kebenaran.

Setiap insan tidak akan pernah terlepas dari masalah dan cobaan hidup (balā’). Akan tetapi, seseorang memiliki waktu untuk selalu berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan tidak berputus asa (tay’as) dalam hal apa pun. Menghindar atau lari dari permasalahan bukanlah sebuah jalan keluar. Hal itu hanya akan membuat seseorang terjebak dalam kegelisahan (qalq) dan kesedihan (shaqāwah) yang akut. Setiap permasalahan mesti dihadapi dengan ketegaran iman yang diwujudkan dalam amal saleh serta saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran. Karena pada dasarnya tujuan hidup insan adalah untuk menggapai kebahagiaan (saʿādah) hakiki.

Namun, apa makna dan pengalaman kebahagiaan yang sesungguhnya? Istilah kunci dalam pandangan-alam (worldview) Islam sebenarnya saling terkait satu sama lain. Keterkaitan itu tersusun secara harmonis, sehingga ia terkonsep (taṣawwur) dalam sebuah kesatuan nilai-nilai Kebenaran (ḥaq) dan Realitas (Haqīqah) yang utuh. Puncak dan pusat keseluruhan dari pandangan-alam Islam itu ialah Allah SWT. Konsep kebahagiaan pun mempunyai relasi makna yang erat dengan konsep iman, keyakinan, dan sifat-sifat diri insan yang derajatnya lebih tinggi dari malaikat. Pengalaman kebahagiaan dalam Islam merujuk pada tiga unsur penting bagi kehidupan seorang insan, yaitu:

  1. jiwanya yang bersifat rūḥānī dengan keistimewaan ʿaql dan keyakinan teguh dalam qalbu untuk mengarahkan;
  2. pelaksanaan amal ibadah jasmānī perdasarkan pada tuntunan ilmu pengetahuan; serta
  3. Pengenalan akan hakikat kewujudan jagat raya di luar dari aspek rūḥānī dan jasmānī insan.  

Keyakinan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pengetahuan indra jasmani terhadap alam jagat raya. Lebih dari itu, keyakinan ini berdasarkan pada pengenalan konsep Tawḥīd melalui informasi wahyu (āyātu ‘Llah), yang menyingkap rahasia keberadaan alam semesta sebagai bagian dari tanda-tanda kewujudan (āyātu ‘l-kawn), dan selanjutnya melalui proses pengamatan dan perenungan mendalam oleh ʿaql insan terhadap alam ghā’ib dan shahādah. Melalui potensi pancaindra jasmānī dan kekuatan indra batin dalam jiwa, seorang insan mampu memahami makna-makna pada ilmu pengetahuan dan disertai dengan keyakinan kuat (thābit). Keyakinan ini pada dasarnya merujuk pengakuan īmān dalam sebuah perjanjian antara insan dan Penciptanya pada hari alastu, sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur’an, alastu birabbikum qālū balā shahidnā (al-Aʿrāf, 7:172).

Perjanjian suci inilah yang semestinya senantiasa dijaga dan dikukuhkan kebenarannya dalam segala keadaan melalui pengamalan Islam sebagai al-Dīn. Makna al-Dīn yang dimaksud adalah mengembalikan insan kepada sifat suci (fiṭrah), yang mencakup pada pengenalan makna diri dan nasib akhir hidupnya melalui kebenaran nalar ʿaql, untuk menyerahkan dirinya secara sukarela (aslama) dalam pengabdian total (ʿibādah) kepada Allah SWT. Islam melalui landasan Al-Qur’an dan Sunah Rasul SAW serta penjelasan ulama yang berwibawa dalam bidang ini telah memberikan pengajaran yang lengkap dan sempurna kepada insan berupa asas-asas akhlāq, petunjuk (hudā), dan tata cara mengarungi kehidupan duniawi untuk mencapai kebahagiaan hingga di alam akhirat kelak.

Kehidupan yang berlandaskan pada agama adalah wujud pengabdian seorang hamba (ʿābid) yang mulia dan agung, karena telah melalui proses memilih (ikhtiyār) dari sebaik-baik (khayr) pilihan untuk kesejahteraan dirinya. Inilah arti kebebasan yang sebenarnya, memilih sesuatu melalui pertimbangan ʿaql secara baik dan benar, sehingga menatijahkan pengaruh positif berupa nilai-nilai akhlāq mulia dan sifat-sifat terpuji (maḥmūdah). Bukanlah dikatakan kebebasan jika nafsu ḥayawānī dibiarkan menguasasi jiwa tanpa pengawalan aturan-aturan yang bisa membendung sifat dan tabiat tercela (makrūhah) dalam diri insan. Pilihan terhadap maksiat dengan menuruti hawa nafsu, sesungguhnya telah menempatkan diri insan lebih hina dari makhluk lain (bal hum aḍall).

Makna kebahagiaan tidak akan berarti apa-apa tanpa disertai dengan ilmu yang dipandu oleh wahyu mengenai tata cara menilai kewujudan alam semesta dan penciptanya. Cara pandang ini juga disebut sebagai kepercayaan (ʿaqīdah) yang bersifat yaqīn dan tidak akan pernah mengalami perubahan (taghayyur) mengikut keadaan tertentu. Keyakinan ini disifatkan dalam Al-Qur’an sebagai pohon yang kokoh dengan akar-akarnya mencengkeram kuat dalam bumi serta tangkai dan rantingnya menjulang tinggi ke langit (kashajaratin ṭayyibatin aṣluhā thabitun wa farʿuhā fi ‘l-ssamā’). Atas dasar ʿaqīdah ini, seorang insan mampu meraih makna kebebasan yang sebenarnya, yaitu pilihan terhadap kepercayaan agama yang benar. Islam sebagai al-Dīn sepatutnya menjadi pegangan hidup untuk membebaskan jiwa-jiwa insan dari dorongan nafsu ḥayawāniyyah dan belenggu keraguan ʿaql pikiran (shak), di mana keduanya merupakan bagian kecil dari kesengsaraan hidup (shaqāwah).

Walhasil, kebahagiaan dalam Islam pada hakikatnya tidak merujuk pada sifat jasmānī, bukan pula pada diri hayawānī sifat basharī, juga bukan pada aspek akal-fikri insan semata. Namun, kebahagiaan itu sesungguhnya bersifat rūḥānī dan abadi, yang terletak dalam keyakinan qalbu akan hakikat kebenaran mutlak, yaitu keadaan diri yang kenal dan yakin terhadap Allah Maha Ḥaq. Oleh sebab itu, kebahagiaan adalah merupakan hasil dari rasa aman, damai, dan tenteram di dalam qalbu, yang kelak mengantarkan pada keimanan (īmān) melalui perantara ilmu (ʿilm). Selanjutnya, ilmu pengetahuan ini memberi arahan mengenai tempat dan keadaan sesuai bagi diri insan (makhlūq) yang meniscayakan adanya budi pekerti (khuluq) di hadapan Tuhannya (khāliq). Hal demikian juga dikenal sebagai ʿadl, yakni keadilan.

Ide tulisan ini disadur dalam buku Ma’na Kebahagiaan Dan Pengamalannya Dalam Islam karya Tan Sri Prof. SMN Al-Attas, diterjemahkan oleh Prof. Dr. Muhammad Zainiy Uthman.

*pencinta film dan kandidat master (M.Phil) Center for Advanced Studies on Islam, Science & Civilization (CASIS) – Malaysia Technology University (UTM).

sumber foto : http://3.bp.blogspot.com/