Suka Cita Kaum Kelas Menengah di Tengah Muslihat Kesejahteraan
Bagikan

Suka Cita Kaum Kelas Menengah di Tengah Muslihat Kesejahteraan

Kita jadi meyakini bahwa diri amat berharga berkat usaha sendiri. Seluruh kerja keras yang datang dari kemampuan dan kedigdayaan diri itu layak diupah dengan besar. Kita menghabiskan hampir seluruh kehidupan untuk mencari, mengumpulkan, dan menumpuk-numpuk harta atas berkat daya diri sendiri itu.

Alkisah, pada akhir abad ke-19, di Jawa, sekelompok masyarakat didatangi oleh beberapa orang yang membutuhkan tenaga mereka di perkebunan baru di Sumatra Timur sana. Dengan iming-iming upah besar, kontrak yang tak ketat, kemudahan untuk kembali ke kampung halaman, dan penyediaan berbagai macam fasilitas, berangkatlah serombongan orang-orang Jawa ini untuk menjadi kuli kontrak. Kenyataannya, mereka ditipu habis-habisan. Seratus ribu pekerja di daerah Sumatra Timur yang tak kenal baca-tulis itu rupanya memberi  cap setuju sebuah kontrak yang menyatakan mereka tidak mempunyai hak untuk melepaskan diri dari kontrak kerja dengan pihak perkebunan sebelum berangkat ke Deli. Satu-satunya cara bagi para pekerja yang ingin menghentikan kontrak kerja adalah melarikan diri. Jika tertangkap, mereka akan menerima hukuman berat. Sebagian besar memang tak pernah kembali ke Jawa.

Selain itu, pihak perkebunan juga membangun berbagai cara agar para kuli selalu bersedia menyetujui kontrak baru setiap kalinya. Mereka dibuat bergantung pada pekerjaan itu dan sedikit kemungkinan untuk kembali ke kampung halamannya. Di daerah perkebunan sana dibuat bermacam hiburan berupa pertunjukan seni. Akan tetapi, siapa pun yang ingin mendengarkan musik-musik atau tarian yang dikiranya sangat menggembirakan harus membayar tarif sewa artis. Tidak gratis. Minuman memabukkan dan perjudian juga disediakan sebagai hiburan. Yang namanya perjudian tentu penuh tipu muslihat agar bandar tak rugi. Tempat peminjaman uang dengan bunga yang tinggi disediakan pula bagi mereka. Setelah pekerjaan berat di tengah perkebunan yang dilakukan tanpa henti pada hari kerja, maka bila waktu libur tiba, larutlah mereka dalam hasrat untuk bersenang-senang dan melepas beban sejenak sampai terbelit utang yang lebih besar lagi. Dan demi mendapatkan uang, para kuli ini harus terus bekerja dan memperpanjang kontrak dengan perusahaan.

Kebijakan perkebunan swasta pada dasarnya lahir usai berbagai kritik yang dilayangkan kepada Pemerintah Hindia Belanda mengenai cultuurstelsel yang amat merugikan petani dan penduduk pribumi. Namun, jika pandangan yang diberlakukan dalam cultuurstelsel, yakni prinsip meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan modal sekecil-kecilnya demi memperoleh selisih sebanyak-banyaknya tetap berlaku dalam kebijakan baru ini maka jangan harap perbaikan akan berlangsung. Ketamakan menuntut pemberlakuan segala cara agar dapat memiliki pekerja berupah murah sekaligus memutar kembali uang supaya tak keluar dari perputaran roda ekonomi perkebunan. Pada akhirnya, bagi para kuli kontrak ini, bekerja hanyalah rutinitas harian di perkebunan dan sedikit hiburan berbayar yang berpotensi menambah beban utang dan perpanjangan kontrak kerja di akhir pekan.

Dalam seabad atau dua abad silam, pada banyak perusahaan bermodal besar, kita hanya akan menemukan dua kategori kelas: pemodal dan pekerja. Mandor para kuli sekalipun tetap dikategorikan dalam pekerja. Pada nuansa kolonialisme, para pemodal ini adalah penjajah dan para pekerjanya adalah yang dijajah. Kini, pembagian kerja di perusahaan telah lebih rumit. Dengan adanya kerja-kerja administrasi yang banyak itu, ada buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dan karyawan yang berada di kantor-kantor dengan kedudukan dan gaji di atas para pekerja pabrik. Kita akhirnya mengenal tiga stratifikasi di dalam perekonomian, yaitu upper class, middle class, dan lower class, menuruti penghasilan dan pengeluarannya.

Dalam tatanan sosial yang seperti itu, setidaknya bangsa Indonesia tidak selalu menduduki strata terendah. Kita punya kesempatan untuk masuk ke upper class berkat kemerdekaan yang mengantarkan kita pada kemajuan pendidikan, teknologi, dan berbagai kesempatan. Kalaupun ada kaum lower class, itu masih bagian dari proses menuju kesejahteraan. Sekarang ada strata middle class yang boleh dikatakan sebagai bukti peningkatan taraf hidup kaum lower class. Ini boleh jadi adalah indikator perekonomian kita yang terus mengalami peningkatan dan tidak berada di tangan para penjajah lagi, dari buruh bisa meningkat menjadi karyawan. Lumayanlah.

Pembagian stratifikasi ekonomi tersebut ditentukan oleh rentang persentase penghasilan rata-rata suatu masyarakat dari pendapatan per kapita suatu negara. Misalnya, Yang Lester Thurow (1987) dari Massachusetts Institute of Technology mengatakan, kelas menengah adalah orang yang berpenghasilan di rentang 75 hingga 125 persen dari pendapatan per kapita. Mengenai stratitikasi ini, Asia Development Bank membuat kategori sebagai berikut: lower-middle class berpengeluaran US$ 2 sampai US$ 4, middle-middle class yang punya pengeluaran US$ 4 sampai US$10, dan upper-middle class dengan pengeluaran US$10 sampai US$20.

Sebetulnya, pembagian di atas banyak dikritik karena tidak menggambarkan keadaan ekonomi Indonesia yang sebenarnya. Dalam kategori itu, kaum lower-middle class memang tidak tergolong miskin, tetapi penghasilannya tidak cukup menopang dengan baik, tingkat konsumsinya rendah, dan kemampuan finansialnya juga kurang stabil. Gaya hidup mereka jelas tidak mencerminkan kelas menengah yang pekerjaannya menjanjikan peningkatan upah yang signifikan sehingga dapat travelling di dalam atau luar negeri minimal sekali setahun demi sedikit bersantai usai memeras diri bagi perusahaan. Dengan upah besar, kelas menengah biasanya memang mempunyai daya beli yang kuat. Bekerja di perusahaan sebagai karyawan berkedudukan lumayan dan bukan buruh lebih memungkinkan kesempatan peningkatan karier yang berarti pula penerimaan gaji yang lebih besar.

Pertumbuhan kemampuan ekonomi ini rupanya rumus untuk mendorong peningkatan daya beli. Sebagian orang yang masuk dalam kategori middle class mulai menggeser selera konsumsi dari sekadar kebutuhan dasar menjadi barang-barang komplementer atau yang lebih mewah sekalian. Barang-barang bermerek dan hiburan kelas dunia dikejar sedapat-dapat demi prestise yang setidaknya bisa menunjukkan gaya upper class, kelas yang biasanya diduduki oleh pemilik perusahaan. Mereka inilah penggerak roda perekonomian bangsa yang sesungguhnya. Bekerja demi ketertataan korporasi yang dimiliki segelintir orang, sekaligus pembelanja paling aktif di tengah-tengah masyarakat.

Istilah kelas menengah sering kali disifatkan dengan kata ngehe yang bisa berarti mengesalkan. Sulit dipungkiri, para pekerja kelas menengah yang juga memperoleh upah ini lebih suka menyebut diri sebagai karyawan karena dianggap berstatus sosial lebih tinggi dibanding sebutan buruh. Bekerja dengan pakaian rapi-formal di dalam kantor di kota-kota besar yang nyaman serta ber-AC dianggap lebih prestisius ketimbang menggunakan seragam dan berjibaku di dalam pabrik produksi. 

Dibandingkan para buruh pun, kelas menengah memang lebih tinggi tingkat pendidikannya. Usai sarjana, mereka  banyak memasuki jenjang sekolah pascasarjana tanpa benar-benar menginsyafi tujuan mencari ilmu melainkan demi peningkatan karier, jabatan, dan upah tentunya. Dengan pendidikan yang tinggi begitu, ramai dari mereka yang tertarik dan senang membincangkan isu-isu politik, ekonomi, dan budaya lalu ramai berceloteh di media sosial. Sering kali kelas menengah ini menganggumi pembangunan serta penataan kota yang dianggapnya sangat menguntungkan, namun menutup mata atau tidak tahu sama sekali mengenai latar belakang serta konsekuensi yang dihadapi masyarakat luas, khususnya yang berpenghasilan rendah. Mereka menikmati keindahan tata kota dan hiburan di mal, tetapi tak punya perhatian pada penggusuran makna dan manusia di sebaliknya.

Pada dasarnya istilah kelas menengah lahir sebab orang-orang yang mengaku berada di dalam stratifikasi ini enggan disamakan dengan buruh pekerja, tetapi kemampuan finansialnya tidak cukup memadai untuk disebut pemilik modal. Kaum ini boleh dikatakan berpenghasilan besar tetapi amat konsumtif bahkan hedonis. Dengan kegemaran berbelanja dan membeli dengan mencicil pembayaran, di bahu merekalah beban motor penggerak ekonomi bangsa yang utama disandarkan. Dan, kalau kita mau coba berfikir sedikit lebih dalam, sebetulnya bukan hanya sikap mereka yang ngehe. Tanpa betul-betul disadari kehidupan yang mereka jalani pun ngehenya lebih menyakitkan lagi.

Kaum kelas menengah ini adalah mereka yang bekerja minimal delapan jam sehari. Berangkat macet pulang pun macet. Ingin nyaman dengan membawa mobil tapi belum sanggup menggunakan jasa sopir. Setiap tahun berbagai pajak dari negara tercinta berderet harus dibayarkan. Demi pergaulan dan membangun jaringan, makan di restoran ternama, nongkrong di café internasional, menggunakan barang bermerek hingga main golf harus diladeni.  Akibatnya tawaran dari perusahaan kartu kredit demi menutupi kebutuhan sehari-hari ditandatangani. Setiap bulan cicilan rumah, kendaraan, tabungan pendidikan anak, deretan asuransi serta utang kartu kredit bulan sebelumnya dalam sekejap menyedot gaji yang sebetulnya berjumlah lumayan.

Hidup kelas menengah adalah jebakan utang demi utang dengan bunga setiap bulannya. Kalau sudah begitu tak ada jalan lain selain menandatangani kontrak dan terus bekerja dengan giat lagi tekun, mengambil banyak lembur, lalu menerima dan melanjutkan hidup setiap bulan. Kinerja yang baik serta pemberian polesan yang disenangi atasan agar cepat naik pangkat harus ditunjukkan. Segala saingan dan pengganggu harus disingkirkan. Kalau tak tahan lagi, bisa mengundurkan diri tapi sebelumnya harus mencari pekerjaan lain dengan upah yang lebih besar hingga pensiun tiba.

Di tengah himpitan dan kerasnya tuntutan hidup yang demikian, kaum kelas menengah ini biasanya bisa menyelipkan waktu, tenaga, dan biaya untuk escape from the hectic world to get “vitaminsea” atau tempat-tempat liburan indah nan mengagumkan lainnya. Memamerkan itu di “kehidupan” sosial media demi mendapatkan tanggapan positif dari para followers jadi hiburan dan penyenang tersendiri. Cuti bersama dan hari kejepit nasional adalah favorit mereka. Dalam keadaan keuangan yang tak selalu memadai, promo, voucer, dan diskon adalah sesuatu yang mutlak dikejar. 

Perilaku hidup yang besar pasak daripada tiang ini sebetulnya tak hanya diderita oleh kaum kelas menengah. Banyak juga dari kita yang memasang penampilan hebat tapi tak sesuai dengan kemampuan, entah itu dalam aspek ekonomi, intelektual maupun lainnya. Namun, kelas menengah ini jauh lebih rentan terkena tipuan dan trik pasak besar dari pihak-pihak yang membutuhkan perputaran uang mereka secara terus-menerus agar tak keluar dari perputaran roda ekonomi para pemilik modal yang itu-itu saja.

Dalam hari-hari para karyawan ini, hidup adalah bekerja. Mencukupi segala kebutuhan dasar dan kebutuhan yang dapat menopang pekerjaan agar bisa memperoleh kesejahteraan. Setelah itu, memenuhi semua bucketlist dan keinginan agar setelah penat bekerja bisa juga bersenang-senang. Tak lupa tabungan dan asuransi sebagai persiapan di masa depan untuk anak-anak dan masa tua. Mungkin itu sebabnya, McKinsey Global Institute menggunakan istilah “kelas pengguna” atau “consuming class” pada kelas menengah ini.

Belanda sudah pergi jauh dan mengakui kemerdekaan bangsa ini pada 1949. Namun rasa-rasanya, penjajahan para pemilik modal masih terus menggerogoti diri kita. Kita masuk perangkap kerja, karier, dan jabatan demi memajukan dan mengabdi pada perusahaan. Demi membayar yang harus dibayar. Kita jadi meyakini bahwa diri amat berharga berkat usaha sendiri. Seluruh kerja keras yang datang dari kemampuan dan kedigdayaan diri itu layak diupah dengan besar. Kita menghabiskan hampir seluruh kehidupan untuk mencari, mengumpulkan, dan menumpuk-numpuk harta atas berkat daya diri sendiri itu.

Kita sedang berpura-pura merdeka, berpura-pura sejahtera, berpura-pura punya kehidupan dengan lilitan berbagai jenis utang dan kredit untuk puluhan tahun lamanya. Kita bilang kita bahagia dan menunjukkannya di media sosial padahal terjepit himpitan tekanan, kemarahan, dan beban, tapi terlanjur bergantung pada kepastian penghasilan setiap bulan yang kerap disebut sebagai kesejahteraan.

Kalau dulu kita dijajah bangsa asing, tak mampu melawan dan masuk perangkap muslihat karena ketidaktahuan, kebodohan dan kelemahan jiwa, kini kita merdeka, berpendidikan tinggi, dan mudah mengakses segala jenis informasi namun masih juga tak berdaulat. Kita selalu dijajah oleh diri sendiri yang gemar pada kehidupan menor dan tak asli yang perangkap dan jeratnya banyak ditebar para penumpuk modal. Kita tak lagi ingat cara menjadi apa adanya. Seolah-olah hidup tak akan berakhir menuju keabadian dan dipertanggungjawabkan. Kita tertipu dan juga menipu. Terlalu yakin bahwa tubuh, jiwa, dan seluruh dayanya adalah milik sendiri dan bebas digunakan untuk apa saja demi meraih kesejahteraan serta hidup berkelimpahan materi.