Reformasi 1998 dalam Kacamata yang Lebih Besar: Peran Umat Islam
Bagikan

Reformasi 1998 dalam Kacamata yang Lebih Besar: Peran Umat Islam

Pada 1997, NU menghadapi musibah isu dukun santet. Isu itu diduga merupakan pembunuhan terencana terhadap tokoh-tokohnya di Banyuwangi. Muhammadiyah juga terkena imbas.

Tentang sejarah, kita tidak bisa melihatnya dalampembabakan yang terlepas-lepas. Apa yang terjadi hari ini sedikit banyak akanberpengaruh ke masa depan. Semua memiliki keterhubungan. Begitu pula dalammelihat Reformasi.

Satu ikatan kuat tentang perlawanan terhadaprezim Orde Baru adalah korupsi. Tahun 1970 sudah menyebabkan pembangkanganelemen masyarakat dan mahasiswa. Francois Raillon dalam bukunya, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia:Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, terbit 1985, mencatat,kedua elemen itu pada tanggal 15 Agustus tahun 1970 merencanakan kegiatan“malam tirakatan” di Jalan Thamrin, Jakarta. Namun, kegiatan itu urung karenapangkopkamtib melarang dan mengancam akan mengirimkan tentara. WS Rendra,penyair, nekat ke Jalan Thamrin. Ia langsung diciduk tentara.

Akhir tahun 1973, mahasiswa melancarkandemonstrasi menolak tindakan oknum etnik Cina dan pihak Jepang yang bekerjasama dengan beberapa tokoh nasional “yang menjual Indonesia”. Aksi itu disusuloleh isu penanaman modal asing yang merugikan negara. Ujung-ujungnya menuntutpenggantian presiden, catat Raillon.

Peristiwa itu membesar pada 15 Januari 1974(Malari) dengan tuntutan bubarkan Aspri, turunkan harga barang-barang, danganyang korupsi. Kemudian muncul buku Fakta,Analisa Lengkap dan Latar Belakang Peristiwa 15 Januari 1974 yang dikarangseorang dekat Ali Murtopo, yang menulis demonstrasi didalangi oleh orang PSIdan Masyumi. Begitu yang didapatkan Raillon.

Pada 1977, PPP berseteru dengan pemerintah. Adausaha pemerintah menggembosi kekuatan umat Islam demi memperkuat kekuasaan.Sebelumnya, pada 1971, banyak aktivis sekuler mendukung Golkar mengadangpolitik Islam, ungkap William Liddle dalam buku Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, terbitan 1992.Kelompok politik Islam sejak 1973 dikecilkan ke dalam satu wadah PPP. Adapaksaan untuk mengganti ideologi partai. Atas desakan NU, PPP tetap berideologiIslam dan pemerintah saat itu terpaksa menerimanya.

Pemerintah tidak hilang akal. Beberapa tokoh Islamdisatukan ke dalam satuan karya Golkar demi mengadang kekuatan PPP.

Gerakan Islam semakin menderu. Pada 12 Desember1978, di depan rapat umum 20.000 kaum Muslim di Jakarta, Jenderal Nasutionberpidato keras menentang pemerintah dalam isu HAM dan lainnya, tulis Liddle.

Dari peristiwa PPP meluncur ke peristiwa Petisi50, Tanjung Priok, Kedung Ombo, hingga menjelang 1997. Pada 1997, MudrickSangidoe, politisi PPP, di Surakarta membuat gerakan Mega-Bintang. Fenomenakorupsi menjadi alasan utama Mudrick melakukan gerakan. Ini dicatat oleh ArifBudiman dan Olle Tornquist dalam buku AktorDemokrasi: Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, terbitan 2001.

Mudrick adalah tokoh yang keras menentang“kuningisasi” Golkar. Ia menarikkekuatan PDI pro-Megawati pascapenyerangan aparat terhadap pendukung Megawatidi kantor PDI di Jakarta, 27 Juli 1996, untuk berpadu dengan PPP. Taktik itumeluas sampai ke Jakarta. Pemilu tahun 1997, PPP mendapatkan dukungan suarabesar dan itu mereka digunakan untuk menekan pemerintah.

Pihak tentara di Surakarta saat itu bersitegangdengan pemerintah daerah. Alasannya, pemerintah tidak tanggap dengankepentingan umum (contohnya kuningisasi), bahkan patung Pangeran Diponegoro(simbol Kodam Surakarta) ikut dicat kuning. Pemerintah kewalahan menghadapigejolak April 1997, catat Budiman dan Tornquist. Menurut kedua pakar itu,militer Surakarta secara diam-diam mendukung aksi “putihisasi” Mudrick terhadapsarana publik yang dicat kuning oleh pemerintah.

Bisa dibilang, memang sudah sejak lama aksi-aksiperlawanan terhadap pemerintah dilakukan oleh banyak kalangan, terutama olehkalangan umat Islam. Tentu kita juga tidak dapat memungkiri gerakan-gerakanlainnya yang ikut menggoyang penguasa, seperti kelompok pro-Megawati, aksi LSMdi Kedung Ombo, hingga gerakan PRD dari 1996-1999. Semua dicatat Budiman danTornquis dalam buku mereka sebagai aktor dan gerakan prodemokrasi.

Gelombang perlawanan terhadap pemerintah Orbakemudian mengkristal dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Amien Raisdan Gus Dur, tokoh penting kedua organisasi itu, melakukan kunjungan bersama kepesantren-pesantren. Pada 1997, NU menghadapi musibah isu dukun santet. Isu itudiduga merupakan pembunuhan terencana terhadap tokoh-tokohnya di Banyuwangi.Muhammadiyah juga terkena imbas. Amien Rais, tokohnya, ditengarai olehpemerintah sebagai pelaku subversi yang merongrong kekuasaan sah.

Pada 1998, NU dan Muhammadiyah bersama-samamengeluarkan pernyataan tegas menuntut reformasi. Majalah Panji Masyarakat, 27 April 1998, dalam tulisan “NU dan MuhammadiyahMenyatu” mencatat, kedua organisasiitu menuntut adanya perubahan total politik: reformasi.

Bahkan, Nahdlatul Ulama punya gagasan tentangreformasi yang perlu juga untuk diperhatikan: islah. Istilah tersebut adalahsalah satu istilah dalam khazanah peradaban Islam. Istilah itu mengingatkankita akan Imam al-Ghazali yang tercatat sebagai tokoh terkemuka penggerakpolitik islah pada akhir pemerintahan Abbasiyah.

Reformasi tidak semata-mata Megawati, WijiThukul, dan empat mahasiswa Trisakti. Lebih dari itu, semua elemen republikpunya peran. Kita harus mengakui dan menghargainya.

Sumber foto: PanjiMasyarakat, nomor 2, tahun II, 27 April 1998.