Mosi Integral Natsir
Bagikan

Mosi Integral Natsir

M. Natsir, arsitek utama di balik kembalinya kita ke negara kesatuan, kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri Pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Foto diolah dari: "Mimbar Indonesia" No. 35, 2 September 1950)

Pada 27 Desember 1949, lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag. Meskipun dalam konferensi itu Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia, tapi mereka masih melancarkan strategi untuk bisa menguasai Indonesia. Pembentukan RIS, dengan 16 negara bagian di dalamnya, adalah salah satu strategi mereka untuk memecah belah Indonesia.

Indonesia yang tadinya sudah dipecah tiga menjadi Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, dipecah lagi menjadi bagian-bagian kecil oleh mantan letnan gubernur jenderal Hindia Belanda, Hubertus Johannes van Mook. Dari Negara Borneo, lahirlah lima negara bagian, yaitu: Dayak Besar, Borneo Tenggara, Borneo Timur, Borneo Barat, dan Banjar. Republik Indonesia dipecah menjadi sembilan, yaitu: Bengkulu, Beliton, Riau, Sumatera Timur, Madura, Pasundan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Belanda hanya menyisakan Republik Indonesia sebagai negara bagian RIS dengan wilayah yang hanya seluas Kesultanan Yogyakarta. Sementara itu, Negara Indonesia Timur tidak dipecah.

Jelas sekali bahwa tujuan Belanda adalah untuk memecah-belah Indonesia. Mohammad Roem, dalam sebuah tulisannya di tahun 1982, menyampaikan bahwa pemerintah Hindia Belanda memberi berbagai fasilitas keuangan dan teknis bagi para kepala negara bagian. Namun, siasat van Mook untuk kembali memiliki Indonesia tidaklah berjalan mulus. Negara-negara bagian RIS mulai bergolak. Mereka menyampaikan keinginan untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melihat gejolak ini, Natsir segera mengambil tindakan. Ia yang ketika itu menjabat Ketua Fraksi Masyumi di parlemen Republik Indonesia Serikat mulai bertukar pikiran dengan anggota parlemen dari fraksi-fraksi yang lain, seperti I.J. Kasimo dari Fraksi Partai Katolik, A.M. Tambunan dari Partai Kristen, Mr. Hardi dari PNI, dll..

Selain bertukar pikiran dengan anggota parlemen dari fraksi berbeda, Natsir atas permintaan Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta, juga melakukan lobi dan menyelesaikan krisis-krisis yang terjadi di daerah. Tugas itu ia laksanakan bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang kemudian menjadi wakil perdana menteri kabinetnya. Di negara Pasundan, Natsir berunding dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo agar ia tidak memproklamasikan Darul Islam. Sementara itu, Hamengkubuwono IX berunding dengan menteri-menteri negara Pasundan agar mau bergabung dengan RI.

Setelah melakukan lobi-lobi dan perundingan ke berbagai wilayah Indonesia selama kurang lebih dua bulan, Natsir merumuskan hasilnya pada 3 April 1950 di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. Pidato bersejarah itu ditutup dengan mosi, yang intinya: Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Indonesia menimbang bahwa perlu penyelesaian yang integral dan pragmatis untuk menyelesaikan permasalahan politik yang terjadi akhir-akhir ini. Mosi yang kini dikenal sebagai Mosi Integral Natsir ini menyerukan agar Indonesia kembali kepada negara kesatuan.

Mosi yang ditandatangani oleh 11 orang yang mewakili 11 fraksi di parlemen itu disambut hangat oleh pemerintah, diwakili oleh Wakil Presiden yang merangkap Perdana Menteri, Mohammad Hatta. Setelah itu, dibentuklah panitia persiapan dan perundingan-perundingan yang kemudian menghasilkan sebuah piagam kesepakatan untuk kembali ke negara kesatuan, yang dibacakan pada 15 Agustus 1950. Dua hari setelahnya, tepat lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. M. Natsir, arsitek utama di balik kembalinya kita ke negara kesatuan, kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri Pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Diolah dari:

Eko Punto Pambudi, dkk., Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (Jakarta: KPG, 2011)

Mosi Integral Natsir: Dari RIS ke NKRI (Prestasi Tertinggi Parlemen yang Dilupakan Sejarah) (Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir Pemikiran dan Perjuanggannya dan Media Dakwah, 2008)