Mohammad Natsir Sebagai Manusia Sehari-hari
Bagikan

Mohammad Natsir Sebagai Manusia Sehari-hari

Salah satu kesederhanaan M. Natsir yang cukup masyhur, tentu saja apa yang dikisahkan George McTurnan Kahin, seorang peminat Asia Tenggara yang tekun.

Selama ini, M. Natsir dikenal sebagai tokoh kharismatik, bapak Bangsa dan pemimpin di berbagai bidang. Ia seperti tokoh yang jauh di sana, jauh dari keseharian manusia Indonesia kebanyakan. Akan tetapi dibalik kemegahan perjalanan hidupnya, sesungguhnya lelaki kelahiran Lembah Gumanti, Solok, ini memiliki kesederhanaan yang teramat. Pada masa kini, beberapa kesederhanaan itu tak terbayangkan pernah benar-benar terjadi. Pak Natsir juga menampilkan berbagai sisi menarik sepanjang hidupnya. Kita tentu dapat mencatat beberapa di antaranya.

Salah satu kesederhanaan M. Natsir yang cukup masyhur, tentu saja apa yang dikisahkan George McTurnan Kahin, seorang peminat Asia Tenggara yang tekun. “Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun" ujar Kahin, tertuang dalam buku Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan (Jakarta: Pustaka Antara, 1978). Para pegawai Departemen Penerangan masa itu kemudian berpatungan untuk membelikan Natsir sebuah baju yang baik bagi seorang ‘bos’. Seorang menteri yang kemeja(atau jas)-nya bertambal tentu nampak tak nyata di kehidupan kita hari ini. Seperti di negeri dongeng, tapi demikian sejarah mencatatnya sebagai kenyataan.

Lantas siapa yang menyangka Pak Natsir terbiasa melakukan Yoga. Dalam bincang-bincang dengan majalah Panji Masyarakat (No. 251, Tahun Ke XX, 15  Juli 1978, hlm 21), beliau menyatakan sekali-sekali ada juga melakukan Yoga. “Kalau kaki sudah di atas dan kepala di bawah, wah itu sudah cape sekali” ujar Pak Natsir yang ketika itu tepat berusia 70 tahun. Perkara Yoga ini, beliau mempelajarinya dari Mochtar Lubis. Keduanya sama-sama dikerem Orde Lama di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jalan Guntur.

Hal ini diceritakan pula oleh Mochtar Lubis dalam bukunya Catatan Subversif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1980). Kedua insan ini (dan beberapa tokoh lain) dipertemukan rezim Orde Lama dalam penjara. Mochtar ditahan (sejak 1957) karena kerja-kerja jurnalistiknya yang memekakan penguasa ketika itu. Sementara Pak Natsir ditahan karena peristiwa PRRI, beliau masuk tahanan sejak tahun 1962. Awalnya mereka ditahan di tempat yang berbeda. Pak Natsir ditahan di Malang dan Mochtar Lubis di Madiun. Setelah pemberontakan PKI, para tahanan politik dipindahkan ke RTM Jakarta, tepatnya pada 25 Oktober 1965. Setahun kemudian keduanya dibebaskan dari penjara, tanpa sekali pun pernah diadili. Pak Natsir keluar dari penjara pada 26 Oktober 1966. Kira-kira setahun kedua manusia berwatak kukuh ini hidup bersama dalam tahanan Orde Lama. Pada masa ini lah Pak Natsir dan Mochtar Lubis berlatih Yoga bersama dalam tahanan. 

Suatu kali salah seorang peserta (berinisial Sj) kentut ketika para tokoh bangsa ini beryoga bersama di sebuah pagi. Tentu saja mereka semua, termasuk Pak Natsir, tertawa terbahak-bahak.

Mochtar juga mencatat Bung Natsir (panggilannya kepada tokoh kita ini) sebagai seorang yang pelupa. Kadang jam tangan tertinggal di kamar mandi, cuci celana lupa di jemuran, lupa giliran ambil makanan atau lupa giliran cuci piring dan lain sebagainya (Catatan Subversif , hlm 328)

Ada pula gurat kekaguman Bung Mochtar kepada Bung Natsir. Hal itu ia ungkapkan ketika ia sudah ditahan Orde Lama, tepatnya pada Oktober 1957. Dari dalam tahanan Bung Mochtar memberi salut kepada Bung Natsir yang saat itu belun ditahan. Begini katanya:

Bung Natsir telah mengangkat suaranya memperingati cara-cara kampanya corat-coret tentang Irian Barat. Terutama dikritiknya memakai kata-kata seperti anjing-anjing, bunuh dan sebagainya. Sungguh Bung Natsir menunjukkan dia punya keberanian dan moral menimbulkan keyakinan pada hari depan bangsa kita. Selama masih ada pemimpin yang berani dan jujur serta bertanggung jawab seperti dia adalah harapan bagi bangsa kita tidak terjatuh di bawah telapak kaki teror, intimidasi dan kezaliman. (Catatan Subversif , hlm 79-80).

5 tahun kemudian, pemimpin yang dikatakan Bung Mochtar berani dan jujur itu dikurung pula oleh Soekarno. Tiga tahun setelahnya keduanya bersama-sama berlatih yoga di dalam tahanan. Setahun berikutnya mereka (bersama tahanan politik yang lain) bebas dari penjara. Tahun berikutnya (1967), kekuasaan Soekarno berakhir. Tiga tahun kemudian (21 Juni 1970) Bung Karno wafat. Hamka (sahabat dekat Natsir yang juga ditahan Orde Lama) memimpin shalat jenazah mantan presiden yang memenjarakannya, sahabatnya Natsir, Mochtar Lubis, M. Roem, Anak Agung, Sutan Sjahrier dan lainnya. Begitulah sejarah bangsa kita berlaku.

Hal lain yang menarik ialah ketertarikan Pak Natsir terhadap musik. Lelaki dengan senyum khas ini pernah mencoba menjadi violis. Menggesek biola melantunkan gramatika nada para komposer besar. Taufik Ismail mencatat perkara kesenangan bermusik Pak Natsir dalam puisi berjudul “Mohammad Natsir, 100 Tahun dalam Kenangan” yang termuat dalam buku 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah (Jakarta: Republika, 2008 [hlm xiii]). Berikut kutipan puisi tersebut:

Tapi Natsir remaja tidak melulu jadi kutu buku. Di Bandung
itu, petang sesudah                                                
    mandi sore-sore dia memakai baju bersetrika,
    pantalon panjang dan jas tutup, jalan kaki dari
    Cihapit bermalam Minggu. Makan sate Madura di
    kedai Madrawi depan kantor polisi. Keliling sebentar
    di Pasar Baru, pulang lewat Hotel Homann. Di depan
    sana dia mendengar orkes hotel melantukan lagu
    demi lagu. Mendengar biola digesek, dia ingin latihan
    biola lagi, tapi dia tahan hobi yang satu ini, karena
    dia masih konsentrasi ingin mendapat angka 9 untuk
    Bahasa Latin. Dan angka 9 itu tercapai

Hal ini dicatat Ajip Rosjidi dalam buku M. Natsir: Sebuah Biografi (Bandung: Girimukti Pasaka, 1990). Pak Natsir sempat mempelajari biola dan bahkan mengajarkannya di lembaga Pendidikan Islam yang ia dirikan pada 1940. Ada hal menarik perkara musik ini. Begini kata Pak Natsir:

“Setelah saya baca-baca kitab agama, saya mendapatkan bahwa musik yang saya gemari itu katanya haram, maka saya tinggalkan kegemaran saya itu, padahal saya tahu sekarang bahwa itu sebenarnya tidak apa-apa” (Panji Masyarakat, No. 251).

Lain lagi perkara persahabatan. Mohammad Natsir dapat bersahabat dengan siapa saja, termasuk dengan mereka yang berbeda ideologi bahkan agama. Kita mengenal kesanggupan beliau untuk berakrab dengan “gembong besar” PKI: Aidit. Meskipun mereka berkeras debat di arena Konstituante, tetapi di luar gedung keduanya dapat minum kopi sama-sama. Persahabatan yang sama juga terulur bersama Ignatius Joseph Kasimo (Partai Kristen Indonesia) dan Johanes Leimena yang berbeda agama. Tentu saja persahabatan-persahabatan ini tak menggeserkan keyakinan Pak Natsir sebagai seorang Muslim. Tak karena persahabatan ia menjadi seorang penganut Pluralisme Agama. Tokoh kita ialah contoh yang baik, menggenggam teguh keyakinan tak berarti harus meniadakan yang lain.  

Pak Natsir juga seorang perokok. Sesuatu yang boleh jadi mengaibkan bagi sebagian tokoh Islam saat ini yang gemar memperlakukan para perokok sebagai kriminil besar. Pak Natsir memang hidup dalam suasana ummat yang mampu menenggang beda dengan saksama. Menurut catatan, Pak Natsir baru berhenti merokok pada tahun 1970 (usia 62 tahun). Sebelum berhenti, bapak Bangsa kita ini bisa menghabiskan satu setengah bungkus rokok sehari. Kegemarannya ialah rokok putih, salah satunya bermerek Commodore. Tapi ketika ditahan di Malang Pak Natsir juga menghisap tembakau linting (Panji Masyarakat, No. 251).

Hubungan Soekarno dan Pak Natsir merupkan sesuatu yang menarik. Mengenai hal ini, ada baiknya kita meminjam cara pandang Bu Inggit Ganarsih (istri pertama Bung Karno) dalam buku Kuantar Ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (Yogyakarta: Bentang, 2011) halaman 112-115.

Diceritakan pada buku itu, bahwa baik Natsir maupun Soekarno pada awalnya saling mengagumi. Soekarno terpesona tulisan Natsir dalam Algemeen Indish Dagblad (AID) yang membantah tulisan Pendeta D.S. Christoffel. Sementara Natsir setia memirsa pidato-pidato Soekarno dalam berbagai rapat PNI. Akan tetapi ada yang mengganjal di antara keduanya. Natsir menyampaikan itu kepada Soekarno yang dipanggil Kusno oleh Bu Inggit:

“Tapi belakangan ini saya suka terperanjat mendengarkan kampanye partai Saudara karena suka ada nada-nada seperti ejekan, atau tegasnya suka ada ejekan-ejekan terhadap aturan-aturan agama Islam.”

“Seperti apa?” tanya Kusno.

“Seperti... Seperti itu, siapa namanya, wanita itu, yang mengejek-ngejek poligami, mencela peraturan Islam.”

Suamiku melirik kepadaku. Aku paham, ia mengharapkan aku memberi suara sebab aku yang tidak setuju dengan poligami. Aku tidak suka permaduan itu. Sedikitnya, aku tidak akan suka dimadu.

Maka, cepat aku nimbrung ikut bicara, “Memang saya pun tidak suka pada poligami.”

“Baiklah,” kata Natsir. “Tapi, mengenai itu kita bisa bicara panjang, mungkin sampai berdebat panjang.”

“Ah, sudahlah,” kataku memendekkan. “Kalau soal poligami, pendeknya saya tidak setuju. Yang pasti, saya tidak mau dimadu.”

“Dan yang lebih celaka lagi,” kata Natsir, “itu ada yang sampai berani mengatakan bahwa pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Mekah.”

“Masa?” kataku keheranan. “Masa ada yang bicara begitu.”

Cuplikan tersebut dapat menggambarkan hubungan Natsir dan Soekarno. Pada dasarnya, keduanya sama-sama membela tanah airnya. Hanya ideologi mereka berlainan, cara dan gaya kepemimpinan mereka juga berlainan. Natsir membela tanah airnya dengan semangat Islam, sementara Soekarno lebih cenderung pada Nasionalisme-Sekular. Dan kita semua tahu, Natsir memang membela poligami tetapi ia setia pada seorang perempuan bernama Nurnahar, istrinya satu-satunya sepanjang hayatnya. Sementara orang-orang Soekarno menentang poligami habis-habisan tetapi Soekarno memang beristri lebih dari satu.

Sebagai seorang manusia, Pak Natsir juga pernah menangis. Paling tidak, dua kali beliau tercatat menangis. Pertama ketika salah satu putranya (Abu Hanifah, ketika itu berusia 13 tahun) meninggal pada 7 Januari 1951. Beliau berkedudukan sebagai Perdana Menteri saat peristiwa ini terjadi. Anak lelaki Pak Natsir itu meninggal tenggelam ketika berenang di kolam renang Cikini. Pak Natsir berusaha tabah menghadapi duka itu. Seluruh pengurusan jenazah putranya ia urus dengan baik dan tabah. Di depan orang banyak beliau simpan kesedihannya. Akan tetapi akhirnya Sang Perdana Menteri tak mampu membendung kesedihannya. Pak Natsir menangis sendiri di kamarnya. Anak-anaknya dapat mendengar sedu sedan tokoh kita dari balik pintu (Aba Sebagai Cahaya Keluarga [Jakarta: Yayasan Capita Selecta, 2008]). Tangisan kedua Pak Natsir yang tercatat ialah ketika istrinya, Ibu Nurnahar, wafat pada Juli 1991. Dua tahun selepas kepergian istrinya, Pak Natsir menyusul, kembali kehadirat Ilahi. Pada kepergiannya, jutaan orang menangis melepas orang yang penuh catatan kebaikan bagi bangsa ini.