Merasa Benar Sendiri dan Merasa Salah Bareng-Bareng
Bagikan

Merasa Benar Sendiri dan Merasa Salah Bareng-Bareng

Sebenarnya memang ada orang yang salah tapi merasa benar. Ada pula orang yang merasa benar dan memang ia benar. Yang susah, mencari orang salah dan mau mengaku salah.

Entah dari mana asalnya dan bagaimana mulanya larangan untuk merasa benar sendiri ramai beredar dalam banyak perbincangan kita. Tidak merasa benar sendiri seperti sebuah kemestian meski entah siapa yang memestikannya. Celakanya, pilihan di seberang merasa benar sendiri adalah merasa salah bareng-bareng.

Memang di dunia ini tidak selamanya semua hal selalu berseberangan. Sebab di antara panas dan dingin ada hangat. Di antara hitam dan putih ada abu-abu. Tapi, ada apa di antara merasa benar sendiri dan merasa salah bareng-bareng? Apa iya ada yang sedeng-sedeng begitu perihal kebenaran? Tidak merasa benar sendiri tapi juga tak merasa salah bareng-bareng—apa yang harus kita rasakan terhadap kebenaran?

Mungkin ada jalan lain, yaitu merasa benar bersama-sama. Tapi bersama-sama siapa? Lebaran bersama-sama aja kita suka susah. Siapa pula nanti yang menentukan kebenaran bersama itu? Jangan-jangan penentu-penentu itu malah dihardik pula: jangan merasa benar sendiri dalam menentukan kebenaran bersama!

Sebenarnya memang ada orang yang salah tapi merasa benar. Ada pula orang yang merasa benar dan memang ia benar. Yang susah, mencari orang salah dan mau mengaku salah. Tidak semua orang yang merasa benar itu salah. Ada orang benar yang memang harus merasa benar. Kita tidak bisa mengatakan semua orang benar, sebagaimana kita tidak bisa mengatakan semua orang itu salah.

Dan lagi, benar ini berbeda-beda dan tak setaraf. Satu tambah satu sama dengan dua itu benar; cara menyeberangi sungai adalah dengan merenanginya juga adalah benar. Tapi dua kebenaran itu berbeda dengan kebenaran semacam: Allah itu Esa.

Jika seseorang mengatakan 1 + 1 = 3, tentu orang itu salah. Salah ngitung. Mungkin benar kita bisa menyeberangi sungai dengan berenang, tapi bisa juga kita menyeberangi sungai dengan menaiki rakit atau berjalan melewati jembatan, kalau rakit dan jembatannya ada. Semuanya benar dalam rangka menyeberangi sungai itu. Tapi kalau seseorang mengatakan Allah tidak Esa, ia tidak hanya salah, tapi juga kafir. Ya masa iya orang yang menyekutukan Allah disebut beriman.

Kebenaran yang pertama itu (1 + 1 = 2) bisa kita sepakati bersama-sama. Kita boleh ngotot-ngototan mempertahankan bahwa satu tambah satu dalam bilangan asli itu ya memang dua, tidak bisa tiga. Itu sama sepeti kita harus ngotot kalau gondrong itu ya berambut panjang. Tidak bisa gondrong itu tak berambut sebab gondrong yang tak berambut itu adalah gondrong yang menipu, palsu, dan tak bisa dipercaya. Demi akal sehat, tidak ada jalan lain bahwa 1 + 1 = 2 dan gondrong itu memang harus berambut, malah rambutnya panjang, sebab tak berambut adalah botak, bukan gondrong.

Pada kebenaran macam cara menyeberangi sungai, ruang berbincang memang lebih luas. Sebab berenang, melalui jembatan, dan menaiki rakit sama-sama akan mengantarkan kita ke seberang sungai. Kita bisa bermusyawarah, mencari suara terbanyak, atau berdebat panjang tentang cara mana yang akan kita gunakan. Yang penting kita jadi menyeberangi sungai. Jangan karena berbincang masalah bagaimana cara menyeberang sungai kita tak jadi menyeberangi sungai itu. Malah berantem. Jangan berantem begitu. Kasihan sungainya nanti tidak jadi diseberangi.

Tapi kalau Allah itu Esa, Allah itu Ahad, kita tidak bisa membuka ruang untuk ngotot-ngototan, apalagi mencari suara terbanyak tentang kebenarannya. Nabi itu tidak bisa dipilih oleh manusia dalam sebuah pilkada. Sebab pilkada itu untuk memilih gubernur atau wali kota, bukan untuk memilih nabi. Kita tak mungkin menggunakan prinsip-prinsip demokrasi dalam menentukan keesaan Allah atau kenabian Muhammad SAW. Kebenaran ini mesti kita pegang erat dengan segenap daya yang kita miliki. Kita yakini sampai mati dan jangan dihitung dengan rumus matematika atau untung-ruginya. Bukan begitu cara mengetahui Tuhan atau kenabian.

Nah, sementara ini memang ada orang-orang yang mengatakan kebenaran itu tidak dapat digapai. Menurut mereka, merasa benar itu merupakan tindakan lancung dan sombong. Lah pikirmu merasa salah itu terhormat dan rendah hati? Ya kalau merasa salah karena telah membohongi emakmu dengan menggunakan uang SPP buat beli rokok, bolehlah. Tapi itu tidak menjadikan tindakan membohongi emak adalah benar. Itu tetap salah. Benar ya tetap benar, salah ya tetap salah. Diakui atau tidak. Dirasakan atau tidak dirasakan.

Kebenaran itu wujud, bukan cuma igau-igauan pikiran manusia saja. Merasa salah bisa saja bernilai baik dan rendah hati, tapi merasa salah bisa juga bernilai tidak terhormat dan sombong. Contohnya seseorang yang merasa bersalah karena dirinya tampan dan teman-temannya jelek. Padahal ketampanannya itu cuma perasaannya doang.

Kebenaran itu bisa dicapai dan mungkin dicapai. Orang memang bisa salah, tapi bisa juga benar. Tidak selamanya seseorang itu salah dan tidak selamanya seseorang itu benar. Kalau ada orang yang bilang tidak ada kebenaran, yang ada hanya perspektif-perspektif manusia atas suatu hal, biarin aja. Biar dia berurusan dengan perspektif-perspektifnya sendiri atas perspektif-perspektif orang-orang terhadap perspektif-perspektifnya orang lainnya lagi atas perspektif pada suatu hal.

Kita harus merasa benar (sendirian atau bersama-sama) pada hal yang memang benar. Kita juga harus merasa salah (merasa salah sendiri atau merasa salah bareng-bareng) pada hal-hal yang memang salah. Tapi sebaiknya kita tidak bingung. Baik bingung sendiri-sendiri atau bingung bersama-sama. Apalagi bingung terus ngajak-ngajak..,