Menjenguk Cara Berbicara Kita Dewasa Ini
Bagikan

Menjenguk Cara Berbicara Kita Dewasa Ini

Kita gali pelan-pelan keberbicaraan kita untuk melihat apakah kita masih manusia. Apakah berbicara benar-benar adalah kekitaan kita yang paling sebenarnya?

Pada dasawarsa kedua abad ke-21 ini, manusia telah menemukan beragam perangkat perhubungan jarak jauh yang telah membuat kita nyaris memensiunkan temu muka di dunia nyata sebagai syarat untuk mengobat rindu. Telepon genggam yang kerumitannya makin tak terkira telah memberi kita perangkat bertemu-muka di dunia maya. Perkembangan teknologi kamera, perhubungan dalam jaringan, serta makin baiknya sinyal internet di banyak wilayah semakin mendukung perhubungan digital dan kemungkinan-kemungkinan lain dari berbicara.

Bermacam-macam perangkat pengirim pesan singkat (sejak SMS sampai Whatsapp) membuat kita asyik berbincang dalam kelompok ataupun secara pribadi. Jemari kita memainkan tuts-tuts huruf layar sentuh dengan semakin mahir. Perkembangan terkini dari semesta keterkaitan data dalam jaringan digital membuat berbagai kemungkinan percakapan dapat dilakukan dengan semakin mudah dan memupus sekat-sekat ruang, juga waktu. Kita bisa membahas persoalan politik di kamar mandi atau mengurus bisnis menjelang tidur.

Kita dapat menyimpulkan bahwa perangkat-perangkat teknologi sebenarnya semakin memudahkan kita untuk bercakap-cakap satu sama lain. Sementara, jaringan data digital yang semakin luas dan meluas membuat kita seperti dapat mengetahui seluruh isi langit dan bumi hanya dari mesin pintar kecil di genggaman kita. Namun, di antara kemudahan-kemudahan itu, mutu berbicara kita sepertinya semakin menurun. Banyak dari kita yang terbiasa menundukkan kepala di ruang-ruang umum. Kemahiran mulut kita untuk berbicara tak secergas ketika perangkat-perangkat itu belum ada. Dan boleh jadi, kuasa kebahasaan kita telah berpindah dari kewicaraan menuju keaksaraan. Dari kerja sama bibir dan lidah menghasilkan suara-suara yang bermakna, menuju kecepatan jemari menyentuh huruf-huruf di mesin layar sentuh kita.

Dalam banyak keadaan, kemampuan jemari kita mengetik berbagai tuturan aksara itu telah memahir tak terkira. Jemari kita seperti telah menjadi lebih otomatis menjalankan perintah aqal membentuk berbagai kata dan kalimat secara amat cepat dan tangkas di layar-layar sentuh amat canggihnya. Namun di sisi lain, mata kita semakin tak terlatih untuk menghormati lawan berbicara yang ada di hadapan, di dunia nyata. Sopan santun pengiring kebertuturan wicara kita semakin meluntur. Kemampuan kita bertukar makna dengan penuh cinta semakin menurun. Kita seperti lupa bagaimana cara menghargai satu sama lain. Bagaimana menatap orang tua dengan hormat, menjaga batas tatap antara lawan jenis, atau menatap sekilas anak-anak untuk memberi perhatian, seperti telah kita lupakan caranya.

Kemahiran kita untuk menyampaikan makna kepada seluas mungkin manusia terus meninggi. Namun, kemampuan umum sewajarnya untuk menyimak orang lain yang sedang bertutur kata di hadapan kita malah merosot tajam. Kepedulian dan perhatian kita terhadap orang lain, rasanya semakin menurun. Kita semakin malas untuk mengerti orang lain. Semakin tak teliti menyeksamai pertuturan lawan bicara. Sementara, kehendak untuk dimengerti, kehendak untuk mengantarkan makna kepada pihak lain semakin mengguar-guar. Di media sosial, kita membagikan tautan, membuang-buang kata, dan mengumbar hasrat untuk menguasai fikiran orang lain. Kita seperti telah lupa cara untuk saling mengerti satu sama lain lantas berebut mengantarkan pengertian kepada pihak lain. Atau mudahnya, kita seperti lupa hakikat dari saling berbicara. Atau boleh jadi kita tak tahu lagi apa yang dimaksud dengan saling mengerti satu sama lain.

Di sisi lain, cara kita berbicara telah semakin janggal. Kata-kata telah kita lepaskan dari sopan santun dan tata perilaku yang seharusnya melekat dan mengiringinya. Perlahan-lahan (dalam beberapa kasus) anak-anak tak mampu lagi mengenali perbedaan kata ‘kamu’, ‘engkau’, ‘anda’, ‘tuan’, atau ‘puan’. Secara bulat, banyak anak hanya mengenal kata ‘kamu’ yang digunakan secara seragam untuk merujuk orang yang lebih tua ataupun yang lebih muda. Kepada kakak, adik, kawan, paman, bibi, pengajar, bahkan  ibu dan bapak mereka mengujar ‘kamu’ sebagai kata ganti penunjuk orang yang diajak bicara.

Kita telah kehilangan nuansa. Telah lupa bagaimana menyatakan sayang yang patut kepada kucing, kekasih, ibu-bapak, Nabi-Suci, dan bahkan Tuhan. Cara sebagian kita untuk menyatakan kasih sayang terhadap kucing nyaris tak jauh berbeda dengan ungkapan kasih kepada ayah dan ibu. Pujian untuk pemain bola, pemain film, dan tokoh politik diungkapkan dengan cara yang sama seperti ketika memuji Nabi. Kita telah lupa cara menata kata hingga kepada Tuhan dan tanaman hias kita memilih kata yang sama.

Tanpa sungkan beberapa orang menyebut “Tuhan itu Maha Asyik Banget”. Suatu kemahaan Tuhan yang tak pernah dirumuskan ratusan ulama masyhur dari kalangan Asy’ariyah, Maturidiyah, bahkan ulama-ulama Salafi sekalipun. Kita juga kerap menemui ungkapan semacam “Allah itu baik banget sama aku!”. Cara menyatakan syukur kepada Tuhan yang telah tak jauh berbeda dengan menyatakan terima kasih kepada teman satu kontrakan. Suatu perkara yang tak pernah dicontohkan tradisi kita. Kita telah berbicara dengan penuh gegabah dan boleh jadi kita beriman tanpa kemampuan berbahasa yang memadai.

Padahal, berbicara ialah ejawantah paling awal dari hakikat kemanusiaan kita, yaitu berfikir. Filsuf-filsuf Muslim menyatakan bahwa manusia ialah makhluk hidup yang berfikir. Manifestasi paling melekat dari berfikir tentu saja ialah berbicara. Di dalamnya terkandung berbagai kemahiran aqal seperti membedakan berbagai kategori wujud, mengelompokkan kata-kata dan menyusunnya dalam pola-pola berbahasa. Dari bahasa pula kita memanjati berbagai hakikat dan berikhtiar untuk sampai kepada Tuhan.

Menimbang pentingnya cara berbicara kita sebagai manusia dan persoalan-persoalan bertutur kita sekarang ini, rasanya kita perlu berhenti sejenak. Kita perlu memikirkan ulang pola-pola berbicara kita. Kita perlu “Menjenguk Cara Berbicara Kita Dewasa Ini”. Kita gali pelan-pelan keberbicaraan kita untuk melihat apakah kita masih manusia. Apakah berbicara benar-benar adalah kekitaan kita yang paling sebenarnya? Atau, kita sudah tak wajar lagi dalam berbicara.

Sepekan ini (17 Dzulqoidah 1439-23 Dzulqoidah 1439/30 Juli 2018-5 Agustus 2018), NuuN.id mengajak para pembaca untuk merenungi persoalan ini dengan seksama.

Mudah-mudahan bermanfaat.