Mengenal Sains Sakral Ala Seyyed Hossein Nasr
Bagikan

Mengenal Sains Sakral Ala Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr mengkritisi pemikiran sekular dan gigih mengajukan sains sakral sebagai solusi terhadap desakralisasi ilmu pengetahuan dunia modern saat ini. Ia menuangkan gagasannya dengan menulis banyak buku, seperti Science and Civilization in Islam (1964), Islamic Science: An Illustrated Study (1976), Knowledge and the Sacred (1981), Religion and the Order of Nature, Man and Nature (1987), The Need for a Sacred Science (1993), dan lainnya.

Seyyed Hossein Nasr (lahir tahun 1933) adalah cendekia masa kini asal Iran yang menghabiskan lebih banyak waktunya di Amerika Serikat. Ketertarikannya terhadap ajaran spiritual bermula ketika ia menghadiri kuliah Profesor Giorgio de Santillana di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Saat masih duduk dalam program S-1 (1950-1954), Nasr merasa resah dengan fisika yang kosong dengan nilai spiritualitas. Kedatangan Profesor Giorgio de Santillana, sebagai dosen terbang di MIT, yang mengajarkan tentang sejarah sains, membuka cakrawala baru ke dalam pemikiran Nasr. Giorgio de Santillana, seorang filosof Italia yang beragama Katolik, mengajarkan betapa pentingnya metafisika tradisional dan filsafat mistis. Kedua ilmu tersebut selama ini terabaikan dalam dunia modern Barat. Giorgio de Santillana mengkritisi sekularisasi pemikiran Barat modern dan mengagungkan spiritualitas metafisika ajaran Hindu tradisional.

Seyyed Hossein Nasr yang saat itu masih menjadi mahasiswa S-1 di MIT, jurusan matematika, tertarik dengan gagasan dosennya. Ia selanjutnya menghadiri banyak materi kuliah dan seminar-seminar yang disampaikan oleh Santillana. Melalui Santillana, Nasr mulai berkenalan dengan karya Rene Guenon, An Introduction to the Study of Hindu Doctrines dan Man and His becoming According to the Vedanta. Karya-karya Guenon ini kelak membentuk pemikiran Nasr.

Nasr meraih gelar sarjana sains (Bachelor of Science/BS) dalam fisika pada 1954. Gelar Master of Science/MS dalam geologi dan geofisika diraihnya pada 1956 dari Universitas Harvard. Ketertarikannya dengan spiritualisme mendorongnya untuk mengubah jurusan ketika menjadi kandidat doktoral. Ia dengan sengaja mengambil jurusan sejarah sains karena ia ingin menggali sejarah sains Islam dalam rangka mencari solusi alternatif terhadap sains Barat modern sekular. Nasr memilih kosmologi, suatu disiplin ilmu yang secara langsung terkait dengan yang sakral sebagai materi disertasinya. Di sela-sela penulisan disertasinya, Nasr bertalaqqi dengan tokoh-tokoh metafisika tradisional. Pada 1957, ia ke Prancis dan bertatap muka langsung dengan tokoh utama filsafat dan tradisi perenial, seperti Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, Marco Pallis, dan Martin Lings. Ketika pada musim panas di Maroko pada tahun yang sama (1957), ia menganut sufisme secara intelektual dan eksistensial dengan mengikut guru dari Aljazair, Shaykh Ahmad al-‘Alawi dan pewarisnya, Shaykh ‘Isa Nur al-Din Ahmad (Frithjof Schuon). Metafisika tradisional menjadi fokus pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Disertasinya tentang kosmologi Islam diselesaikannya di Universitas Harvard pada 1958. Disertasi tersebut direvisi dan dibukukan serta diterbitkan oleh Universitas Harvard pada 1964 dengan judul An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conceptions of Nature and Methods Used for its Study by the Ikhwan al-Safa, al-Biruni and Ibn Sina (Pengenalan Doktrin-Doktrin Kosmologi Islam: Konsep-Konsep Alam dan Metode yang digunakan untuk mengkajinya oleh Ikhwan al-Shafa, al-Biruni dan Ibnu Sina).

Mengkritisi Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Modern

Seyyed Hossein Nasr mengkritisi pemikiran sekular dan gigih mengajukan sains sakral sebagai solusi terhadap desakralisasi ilmu pengetahuan dunia modern saat ini. Ia menuangkan gagasannya dengan menulis banyak buku, seperti Science and Civilization in Islam (1964), Islamic Science: An Illustrated Study (1976), Knowledge and the Sacred (1981), Religion and the Order of Nature, Man and Nature (1987), The Need for a Sacred Science (1993), dan lainnya.

Menurut Nasr, desakralisasi ilmu pengetahuan di Barat bermula pada masa renaissance (kelahiran kembali), ketika rasio mulai dipisahkan dari iman. Pemisahan tersebut terus terjadi sehingga yang sakral pun akhirnya menjadi sekular. Agama yang justru didekati dengan pendekatan sekular sehingga sekularisasi pun pada akhirnya terjadi dalam studi agama. Visi yang menyatukan ilmu pengetahuan dan iman, agama dan sains, dan teologi dengan semua segi kepedulian intelektual telah hilang dalam ilmu pengetahuan Barat modern.

Nasr mengajukan Sains Sakral (Sacred Science) sebagai jalan keluar dari sekularisasi ilmu pengetahuan. Menurutnya, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman (credo ut intelligam et intelligo ut credam). Fungsi ilmu adalah sebagai jalan utama menuju Yang Sakral. “Aql artinya mengikat kepada Yang Primordial.” Sama halnya dengan religio dalam bahasa Latin yang artinya mengikat. Bagaimanapun, Seyyed Hossein Nasr menegaskan, Sains Sakral bukan hanya milik ajaran Islam, tetapi dimiliki juga oleh agama Hindu, Buddha, Konfusius, Taoisme, Majusi, Yahudi, Kristen, dan filsafat Yunani klasik.

Gagasan Nasr tentang Sains Sakral merupakan pengejawantahan dari filsafat perenial yang telah dikemukakan sebelumnya oleh para Tradisionalis lainnya, seperti Rene Guenon (1886-1951), Ananda K Coomaraswamy (1877-1947), dan Frithjof Schuon (1907-1998). Semua gagasan mereka dikenal dengan berbagai nama, seperti Tradisi primordial, sanata dharma, sophia perennis, philosophia perennis, philosophia priscorium, prisca theologia, vera philosophia, dan scientia sacra. Semua istilah tersebut bermaksud bahwa kebenaran adalah abadi dan universal, namun sekaligus terejawantahkan dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda.

Pemikiran Nasr tentang Sains Sakral tidak identik dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Di antara keduanya, (Sains Sakral dan Islamisasi ilmu pengetahuan) terdapat persamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya terletak dalam mengkritisi sekularisasi ilmu (ilmu yang terpisahkan dari agama).  Akan tetapi, di antara keduanya juga terdapat perbedaan. Jika Sains Sakral dibangun di atas konsep semua agama sama pada tingkat esoteris (batin) maka Islamisasi ilmu pengetahuan dibangun di atas kebenaran Islam. Sains Sakral menafikan keunikan hanya milik Islam karena keunikan adalah milik semua agama sedangkan Islamisasi ilmu pengetahuan menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Seyyed Hossein Nasr memperjuangkan Sains Sakral bukan Islamisasi ilmu pengetahuan.