Melindungi Lelaki dari Bunuh Diri
Bagikan

Melindungi Lelaki dari Bunuh Diri

Kesunyian, kesepian, dan tekanan hidup membuat manusia sering merasa lemah. Ketika perasaan itu semakin mengungkung dan tidak menemui jalan keluar maka bunuh diri sering dianggap sebagai salah satu solusinya.

Pada 8 Juni 2018, tepat seminggu sebelum Hari Raya Idul Fitri 1439 H, ketika umat Islam di seluruh dunia bersiap menyambut malam Lailatul Qadar, sebuah berita mengejutkan hadir. Anthony Bourdain, koki selebritas ternama asal Amerika Serikat, bunuh diri di sebuah kamar hotel di Prancis ketika syuting serial populernya, Parts Unknown. Nama Bourdain menjadi tenar di seluruh dunia setelah makan dengan Presiden Obama di restoran pinggir jalan di Vietnam. Ia juga dikenal berani mengangkat isu-isu sensitif, seperti imigrasi, Jalur Gaza dan Tepi Barat, Iran, Perang Vietnam, dan sebagainya.

Kematian Bourdain menambah panjang daftar orang kondang di Amerika Serikat yang mati bunuh diri. Tiga hari sebelumnya, desainer ternama, Kate Spade, juga melakukan hal yang sama. Menurut AJ+, angka bunuh diri di AS meningkat sebanyak 30% sejak 1999 dan menjadi 10 besar penyebab utama kematian di sana. Kenaikan angka itu dilansir disebabkan oleh liputan media yang berlebihan atas kematian selebritas. Selain dua nama di atas, beberapa selebritas yang bunuh diri setelah tahun 2000 termasuk Chester Bennington, Robin Williams, dan Heath Ledger.

Di negara dengan banyak penggemar K-Pop seperti Indonesia, tahun 2017 disebut sebagai tahun kelam karena bunuh dirinya seorang idola mereka. Jonghyun, idola dari grup SHINee, mengakhiri nyawanya setelah menderita depresi panjang karena tekanan yang berat di dalam dunia hiburan. Bunuh diri Jonghyun sempat ramai diberitakan media dalam negeri, terutama setelah salah seorang fans dari Indonesia berusaha melakukan hal serupa (bunuh diri—Red) setelah mengetahui kematian idolanya.

Bunuh diri adalah sebuah masalah besar di Korea Selatan. Negeri Ginseng ini tercatat memiliki angka bunuh diri tertinggi di antara negara maju. Menurut data WHO, pada 2015, ada 24 kematian akibat bunuh diri per 100.000 penduduk. Jika dihitung per tahun, jumlahnya mencapai 13.500 atau sekitar 37 orang per hari. Di sana, bunuh diri menjadi salah satu penyebab utama kematian remaja dan pemuda. Alasan bunuh diri itu, antara lain, karena tekanan yang tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam pendidikan. Meski begitu, jumlah kematian karena bunuh diri di kalangan lansia juga tidak kalah besar. Sekitar 30% korban yang meninggal karena bunuh diri berasal dari lansia, dengan usia di atas 65 tahun. Hampir separuh lansia di sana hidup dalam kemiskinan dan beban hidup yang berat serta kekhawatiran akan menjadi beban keluarga membuat mereka memilih jalan itu. Tidak jauh berbeda dengan AS, jumlah bunuh diri di negara ini juga meningkat sejak memasuki abad 21.

Selain Korea Selatan, Jepang juga terkenal sebagai negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian mereka yang berusia 15-39 tahun, mengalahkan kanker dan kecelakaan bahkan jika keduanya digabung sekaligus. Negeri Sakura ini bahkan memiliki tempat-tempat populer untuk melakukan bunuh diri, salah satunya Aokigahara. Aokigahara, yang disebut juga hutan bunuh diri, adalah hutan lebat di kaki Gunung Fuji dan menjadi terkenal di seluruh dunia setelah beberapa Youtuber internasional mengunjunginya lalu melakukan uji nyali di sana. Salah satu Youtuber bahkan menemukan jasad yang baru gantung diri dan mengunggahnya di saluran Youtube-nya, menimbulkan kontroversi di seluruh dunia. 

Bunuh diri memang menjadi salah satu masalah pelik pada abad modern ini. Menurut WHO, persentase bunuh diri meningkat hingga 60% selama 45 tahun terakhir dan membuatnya masuk ke dalam tiga besar penyebab utama kematian orang-orang berusia 15-44 tahun di seluruh dunia. Angka ini belum termasuk ke dalam angka percobaan bunuh diri yang bisa berjumlah 20 kali lipatnya. 

Jika dilihat dari jenis kelamin, laki-laki menempati peringkat tertinggi dengan angka kematian hampir dua kali lipat dibandingkan perempuan. Di negara Barat, angka itu mencapai tiga hingga empat kali lipatnya. Di Inggris, dari 5.981 kematian karena bunuh diri pada 2012, lebih dari tiga per empatnya adalah laki-laki. Sedangkan, di Amerika Serikat, dari 79% dari 38.000 korban bunuh diri pada 2010 adalah laki-laki. Hanya Cina saja yang memiliki kecenderungan sebaliknya di seluruh dunia.

Mengapa angka bunuh diri lelaki lebih banyak dibanding perempuan? Padahal, sudah jamak kita ketahui bahwa perempuan adalah makhluk lemah lembut yang mudah tersakiti. Menurut penelitian, perempuan memang lebih mudah menderita masalahan kejiwaan, mudah merasa sedih, dan juga tertekan. Perasaan itu menimbulkan pikiran untuk bunuh diri dan banyak di antara mereka yang mengaktualisasikannya meski tidak semuanya berujung pada kematian. Namun, meski perempuan memiliki masalah kesehatan mental dan percobaan bunuh diri lebih tinggi tapi pada kenyataannya justru laki-laki yang lebih banyak meninggal dunia karena bunuh diri.

Para peneliti dan ilmuwan di seluruh dunia pun berlomba untuk mencari tahu jawabannya. Mereka bahkan menyebut keadaan ini sebagai paradoks gender atas perilaku bunuh diri. Hasilnya, mereka menemukan bahwa perempuan memang memiliki keinginan dan percobaan bunuh diri lebih tinggi, tapi metode yang dilakukan ternyata tidak cukup mumpuni untuk mengakhiri nyawa mereka. Sebagian besar perempuan memilih metode antikekerasan, seperti minum pil hingga overdosis. Sedangkan, laki-laki lebih senang memilih cara jantan, seperti menggunakan senjata api atau menggantung diri. Perbedaan cara ini membuat laki-laki lebih sulit diselamatkan ketika melakukan percobaan bunuh diri sehingga berujung kepada kematian.

Apa penyebab perbedaan metode ini? Para peneliti berpendapat bahwa laki-laki lebih nyaman dengan senjata ketimbang perempuan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa memang sudah bawaan laki-laki untuk bersikap lebih impulsif dan memiliki niat untuk bunuh diri. Sedangkan, yang lainnya beranggapan bahwa alasan di balik sikap antikekerasan perempuan dalam pemilihan metode bunuh diri adalah karena tidak ingin merusak keindahan tubuh mereka setelah mati.

Jika kita melihat motifnya, menurut para ahli, perempuan yang terkena depresi dan memiliki keinginan bunuh diri lebih cepat mendapatkan bantuan psikologis yang dibutuhkan. Berbeda dengan laki-laki. Ada keengganan dari diri mereka untuk mencari bantuan ke luar, baik itu teman, keluarga, maupun profesional ketika terkena masalah atau merasa depresi. Keengganan itu disebabkan oleh stigma maskulinitas yang ada di tengah masyarakat. Ada anggapan bahwa meminta bantuan adalah sebuah tanda kelemahan. Sebagai makhluk yang dianggap lebih kuat, mereka dituntut untuk menyimpan perasaan sakit dan luka hati di dalam pikiran dan jiwa mereka. Tidak seperti perempuan yang bisa berdalih di balik PMS ketika sedang merasakan perubahan emosi yang drastis, lelaki tidak bisa berlindung di balik apa pun. Kehidupan yang semakin individual, keharusan memisahkan diri antara ruang publik dan ruang pribadi, ditambah dengan penyingkiran Tuhan di dalam kehidupan membuat mereka semakin berteman dengan kesepian meskipun memiliki teman dan keluarga yang secara rutin berhubungan dengan mereka. 

Kesunyian, kesepian, dan tekanan hidup membuat manusia sering merasa lemah. Ketika perasaan itu semakin mengungkung dan tidak menemui jalan keluar maka bunuh diri sering dianggap sebagai salah satu solusinya. Perasaan-perasaan seperti itu tentu saja tidak bias gender dan dapat dirasakan oleh siapa saja. Namun, lelaki lebih sulit untuk menyampaikannya ke luar, entah karena khawatir dianggap lemah atau takut berkurang kelaki-lakiannya. Padahal, kesedihan, kekhawatiran, dan kelemahan adalah hal alami yang bisa dirasakan seluruh manusia. Seperti perempuan, ada kalanya laki-laki butuh menangis dan berkeluh kesah. Mereka pun butuh untuk dilindungi dan dijaga karena seperti halnya ketakwaan, bunuh diri pun tak dapat dinilai dari jenis kelamin ataupun hal fisik lainnya.