Kabar Berita dalam Tilikan Secangkir Kopi
Bagikan

Kabar Berita dalam Tilikan Secangkir Kopi

Hidup ialah sekadar mampir, berjongkok menonton keruwetan yang fana sambil nyeruput kopi tubruk ala kadarnya. Mari ngopi dan kurangi baca berita yang meruwetkan.

Pada awalnya manusia membutuhkan pengetahuan untuk memenuhi hasratnya. Kehendak untuk mengetahui ialah sifat alami manusia. Namun media sosial membuka ruang lain yang melampaui hasrat tersebut. Media sosial menyediakan layanan bagi manusia yang amat berhasrat untuk mempertontonkan dirinya sebagai yang mengetahui.

Hasrat untuk mempertontonkan pengetahuan tidaklah berkaitan secara erat dengan pengetahuan itu sendiri. Hasrat semacam ini berawal dari kehendak untuk mendapat pengakuan, kehendak untuk diperhatikan oleh sebanyak mungkin orang dan kehendak untuk memaknai keberadaan diri di tengah lingkungan.

Semua (atau paling tidak sebagian besar) orang di dalam masyarakat kita kerap berusaha menyebarkan kabar yang sering disebut “A1” kepada siapa pun yang mungkin ia jangkau. Menyebarkan berita yang dianggap penting dari sumber yang dianggap penting memberi suatu kenikmatan tersendiri. Kita seolah telah mengabarkan sesuatu yang akan berarti bagi banyak orang. Meski kita sendiri mendapat berita itu dari sekadar grup kawan sekolah. Hal ini telah membiasa dan kemudian membudaya.

Hasilnya ialah tebaran berita-berita yang dipercaya sebagai kebenaran, dipercaya berasal dari sumber utama padahal tidak pernah diperiksa dengan seksama dan dengan demikian tidak pernah benar-benar benar. Boleh jadi berita-berita itu ialah prasangka yang dianggap kebenaran. Tak menutup kemungkinan berbagai kabar palsu dipercayai sebagai kenyataan. Bisa pula di balik berbagai kepalsuan itu bersembunyi berbagai kepentingan. 

Keadaan ini membuat segala kabar tak dapat diyakini betul-betul sebagai kenyataan namun tak pula dapat ditolak dengan pasti sebagai kebohongan. Yang benar dan yang bohong menyaru dan sulit dibedakan. Berita kemudian tak lagi menawarkan kebenaran kepada pemirsanya, ia menawarkan pilihan untuk dipercayai atau tidak percayai. Pemirsa tak lagi melihat berita sebagai sesuatu yang benar atau salah tetapi sesuatu yang dapat memanjakan kehendak diri atau sebaliknya.

Pendukung pemerintah akan percaya pada berita yang disampaikan istana. Mereka yang jagoannya kalah pada Pemilihan Presiden kerap memilih tidak percaya pada berita semacam itu. Kepercayaan dan ketidakercayaan ini didasari oleh sesuatu di luar tubuh berita itu sendiri. Kecenderungan politik malah kerap menjadi penentu untuk mempercayai atau tidak mempercayai sebuah berita. 

Sikap berkabar-berita semacam ini tentu saja tidak sehat, meski kadang menyenangkan. Kita dapat menyamankan diri dengan berbagai kenyataan buatan yang ditawarkan media massa. Di dalam berita kita adalah mangsa kata-kata, bebas untuk memalsu dan memirsa apa saja, dari siapa saja sesuai kehendak kita sendiri. Berita tidak lagi menjadi sumber informasi, tetapi menjadi sarana pemanja kehendak diri.

Dalam keadaan begini, sebenarnya kita tak lagi berkenalan dengan kenyataan melalui dunia perberitaan. Berita kita yakini dengan melompati prosedur pemeriksaan kebenaran demi menemukan kesenangan kita sendiri. Perilaku berberita kita semakin menjauh dari ilmu. Kita kehilangan pendalaman, renungan, dan perlahan terlepas dari kenyataan. Kita seolah-olah hidup di alam sublim yang terhubung dengan kenyataan secara tak ajeg.

Kita cemas karena ada kelompok lain yang ternyata tak meyakini (bahkan cenderung menolak) apa yang kita yakini. Secara alami kita membangun kongsi-kongsi sekeyakinan lalu berhantam mempertahankan berita-berita yang kita percayai kebenaranya untuk diperhadapkan dengan kubu di sana. 

Kita sedang menikmati kecemasan, kita sedang memanjakan kehendak diri, kita sedang menjauh dari kenyataan, kita sedang mengisolasi diri dalam angan-angan. Tata cerna berkabar-berita sebegini telah membuat kita tegang, ruwet dan ada di serba-ketidakpastian namun dengan susah payah kita malah menyatakan diri baik-baik saja. Kita ada di tegangan kepalsuan dan kebenaran tanpa kemampuan yang cukup untuk memilah keduanya. Dalam keadaan begini batin kita menjadi sumuk, lelah dan (tanpa sadar) putus asa. Capek dengan berita namun terus mengunyahnya. 

Sampai di sini seharusnya kita tak lagi percaya bahwa manusia dapat mencapai kebenaran atau memahami bahwa berita benar-benar mengabarkan kenyataan. Akan tetapi kita sesungguhnya punya pilihan lain. Kita dapat menarik nafas sejenak memetik jeda. Kita dapat berlepas dari budaya berkabar-berita semacam itu. Caranya sederhana, dengan mengurangi membaca sesuatu yang tak penting dan membaca apa yang perlu kita ketahui. Kita tidak perlu tahu berapa silit yang sudah digunakan oleh Presiden selama ia makan malam di masa kepemimpinannya.

Kita harus lebih bergembira melihat dunia ini. Kita musti sadar bahwa tidak semua yang kita baca ialah kebenaran tetapi musti ingat pula bahwa tidak semua yang disampaikan media ialah kebohongan. Nurani kita masih terbuka untuk secangkir kopi dan berita secukupnya. Dalam derasan kata-kata yang menggelontor tanpa kendali kita masih bisa membuka buku yang baik, mematikan TV, minum air putih sebelum menyentuh telepon genggam ketika bangun tidur, dan ngobrol-ngobrol dengan orang terdekat mengenai cara menanam melon yang baik di halaman rumah yang semakin sempit.

Kita juga bisa bicara tentang kenang-kenangan, membaca buku bermutu, mempelajari filsafat dengan seksama, atau mencoba memahami apa itu tasawuf. Dengan kedalaman semacam itu kita dapat terus menguatkan mutu batin kita sendiri. Pada suatu ketika, kita akan sampai pada sebuah titik yang baik. Titik di mana kita terbiasa dengan bacaan bermutu dan muak sendiri dengan bacaan jelek. Kita dapat melampaui berita-berita itu, bersijingkat di atasnya dan terhibur melihat orang-orang yang saling hantam karenanya.

Pada suatu ketika berita-berita itu akan melarut dalam secangkir kopi, waktu ketika kita malas mengurusi urusan yang tak harus kita urusi dan terus mendalami apa yang seharusnya kita dalami. Kita dapat terus bekerja menggali nurani kita sendiri, meningratkan mutu diri di hadapan Tuhan. Berita akan menjadi lebih indah jika kita memandangnya dari secangkir kopi. Berita tak lagi menegangkan dan ruwet. Kita tak perlu takut jika kebenaran-kebenaran yang kita yakini ternyata tak pernah kita temukan dalam mesin pencari berita atau tak pernah ditayangkan di media sosial. Keyakinan kita tidak perlu diliput secara besar-besaran atau dipamer-pamerkan. Ia ada di kedalaman diri jauh sama sekali dari berita-berita pelik itu.

Hidup ialah sekadar mampir, berjongkok menonton keruwetan yang fana sambil nyeruput kopi tubruk ala kadarnya.

Mari ngopi dan kurangi baca berita yang meruwetkan.