Jepang Setelah Perang Dunia II: Nuklir, Demokrasi, dan Demiliterisasi
Bagikan

Jepang Setelah Perang Dunia II: Nuklir, Demokrasi, dan Demiliterisasi

"Genbaku Dome" atau Monumen Perdamaian Hiroshima menjadi saksi atas tragedi kemanusiaan ketika bom atom digunakan untuk pertama kalinya dalam sejarah perang manusia. (Foto: dokumentasi pribadi)

Pagi musim panas itu semestinya sama dengan pagi-pagi lainnya. Orang-orang melakukan aktivitasnya seperti biasa, meski Perang Dunia sedang berkecamuk di luar sana. Anak-anak pergi ke sekolah, para ibu melakukan pekerjaan rumah tangga di rumah, sedangkan para ayah pergi ke pabrik atau tempat lainnya untuk mencari nafkah. Di pagi yang cerah itu, tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa hidup mereka akan berhenti di pukul 08.15.

Hari itu, 6 Agustus 1945, sejarah mencatat penggunaan bom atom pertama kali dalam perang. Hiroshima, sebuah kota besar di bagian selatan pulau utama Jepang, Honshu, menjadi korban pertamanya. Bom yang memiliki daya ledak setara 15.000 ton TNT itu menghancurkan sekitar 70% bangunan dan menewaskan sekitar 140.000 orang, puluhan ribu di antaranya meninggal seketika. Suhu di titik pusat bom mencapai 7.000 derajat Celcius dengan radius ledakan mencapai 5 km. Ledakan yang bentuknya menyerupai jamur raksasa itu, menimbulkan gelombang kejut maha dahsyat dan ekspansi udara seketika, yang menyebabkan besarnya jumlah kematian. Beberapa orang menguap tak berbekas sementara yang lainnya mati tertindih reruntuhan bangunan atau terkena pecahan.

Sebagian besar korban di hari itu adalah warga sipil dan “hanya” sekitar 20.000 orang saja yang berasal dari militer. 90 persen dokter dan perawat meninggal dunia atau menderita luka, karena bom yang awalnya akan diturunkan di atas jembatan penting di kota itu kabarnya meleset sehingga meledak di atas rumah sakit. 42 dari 45 buah rumah sakit yang ada di kota itu hancur atau rusak parah, sehingga sebagian besar korban meninggal dunia tanpa sempat mendapatkan perawatan pertama.

Setelah menghadapi kehancuran kota dan kematian sebagian besar warganya, penduduk Hiroshima juga masih harus menghadapi dampak radiasi dari bom ini. Gejala akut radiasi seperti muntah-muntah, sakit kepala, mual, diare, rambut rontok, hingga pendarahan dialami oleh warga yang terkena dampak radiasi ini. Penyakit karena radiasi ini dapat menyebabkan kematian beberapa minggu hingga beberapa tahun setelahnya. Dampak jangka panjang yang dialami oleh korban antara lain meningkatnya risiko kanker tiroid dan leukemia.

Ketika warga Hiroshima masih berduka, bom atom kedua dijatuhkan kembali oleh Amerika Serikat. Kali ini sasarannya tidak terletak di pulau utama, tapi di sebuah kota kecil di selatan pulau terbesar ketiga Jepang, Nagasaki. 9 Agustus 1945, salah satu kota pelabuhan terbesar di selatan Jepang itu turut mengalami hal yang sama dengan Hiroshima. Meskipun bom di Nagasaki lebih kuat dari bom Hiroshima, tapi dampak yang dialami kota ini tidak sebesar Hiroshima, karena bom jatuh agak jauh dari pusat kota di daerah yang berbukit dan berlembah. Jika dijumlahkan, ada lebih dari 200.000 korban jiwa dari kedua bom di kedua kota di atas.

Enam hari setelahnya, yaitu pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang menyerah kalah dan pada 2 September 1945 kekalahan Jepang di Perang Dunia II secara resmi ditandangani. Selepas perang, ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, yaitu demiliterisasi dan demokratisasi Jepang. Angkatan bersenjata Jepang dibubarkan pada November 1946 dan melalui pembentukan pasal 9 undang-undang dasar Jepang, Jepang tidak akan ikut dalam perang lagi.

Selepas perang, Amerika Serikat dan sekutunya menyerukan perubahan utama pada Oktober 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat, pers, dan berserikat juga hak untuk membentuk perserikaan buruh dan petani. Melalui langkah ini, Amerika Serikat secara jelas menyerukan demokrasi di Jepang. Selanjutnya, dibentuklah hukum yang menurunkan kuasa kaisar sebagai pemerintah monarki tertinggi menjadi “simbol negara dan kesatuan masyarakat”. Jepang pascaperang menjadi bagian dari dunia kapitalis yang mengagungkan paham perdamaian di tengah masyarakat dunia yang modern.

Bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tidak hanya mengubah Jepang, tapi juga dunia. Tragedi kemanusiaan ini diperingati setiap tahunnya pada tanggal 6 dan 9 Agustus di Hiroshima dan Nagasaki. Ground zero tempat bom atom pertama kali jatuh dijadikan monumen peringatan untuk perdamaian dan puluhan ribu orang berkumpul di tempat ini setiap tahunnya untuk mengenang kekejaman perang. Tahun ini pun, peringatan 72 tahun bom di Hiroshima digelar di Taman Peringatan Perdamaian Hiroshima dan dihadiri oleh sekitar lima puluh ribu orang dari berbagai negara. Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, dalam pidatonya berharap dapat menciptakan dunia tanpa senjata nuklir meskipun Jepang menolak perjanjian PBB tentang nuklir yang diresmikan bulan lalu dan berada di pihak negara bersenjata nuklir seperti Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.

Bahan bacaan:
Andrew Gordon, A Modern History of Japan: From Tokugawa Times to the Present, (New York: Oxford University Press, 2003)