Jamiat Khair : Bentuk Perjuangan Pendidikan Orang-Orang Islam di Batavia Melawan Kolonial
Bagikan

Jamiat Khair : Bentuk Perjuangan Pendidikan Orang-Orang Islam di Batavia Melawan Kolonial

Yayasan ini kemudian mendirikan sekolah-sekolah madrasah yang tidak melulu mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan agama saja. Kurikulum saat itu meliputi berbagai subjek: berhitung, sejarah (terutama sejarah Islam), ilmu bumi, bahasa Melayu, bahasa Arab, dan bahasa Inggris.

Dahulu, dari tempat ini tersebut orang-orang besar dari kalangan umat Islam. Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang di antaranya.

Pada tahun 1901, orang-orang keturunan Arab di Batavia mendirikan yayasan Jamiat Khair. Para pendirinya berasal dari kalangan keluarga Bin Shahab dan Bin Yahya. Dalam pandangan Husain Haikal pada disertasinya tahun 1986, “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-1942)”, halaman 145, yang merujuk kepada karya Abu Bakar Atjeh, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia” pada buku ​Dunia Baru Islam, 1967 (dieditori oleh Stoddard), halaman 319 dan 228, Tionghoa Hwee Koan sedikit banyak menginspirasi dunia peranakan Arab di Indonesia ini.

Yayasan ini selain diperuntukkan bagi orang-orang keturunan Arab juga terbuka bagi kalangan pribumi. Tercatat, Hasan Djajadningrat—saudara dari A Djajadiningrat, seorang pangeran dari Pandeglang, Serang, yang pernah menjadi bupati di SerangdanBataviajuga anggota Volksraad—menjadi anggota nomor 723. Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah menjadi anggota nomor 770 (Haikal, 1986: 146).

Yayasan ini kemudian mendirikan sekolah-sekolah madrasah yang tidak melulu mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan agama saja. Kurikulum saat itu meliputi berbagai subjek: berhitung, sejarah (terutama sejarah Islam), ilmu bumi, bahasa Melayu, bahasa Arab, dan bahasa Inggris.

Pengantar pengajaran menggunakan bahasa Melayu karena banyak anak pribumi bersekolah di tempat itu, begitu pula orang-orang Arab turunan yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Melayu, bukan bahasa Arab (Haikal, 1986: 150—151). Haji Muhammad Mansyur, seorang guru dari Padang yang dikenal dengan kemampuannya mengajar menggunakan bahasa Melayu, diundang mengajar disana demi menambah mutu pendidikan (Haikal, 1986: 151).

Pengurus yayasan itu juga membuat pendidikan nonformal lewat kegiatan ​majlas. Pada kegiatan itu, mereka membicarakan bermacam artikel dari terbitan-terbitan ​al-Urwatul Wustqa dan ​al-Manar serta beragam bacaan dari luar negeri. “Lewat inilah KH A Dahlan mengenal lebih dalam berbagai bacaan pemurnian Islam (​sic​),” tulis Haikal pada halaman 151, merujuk kepada tulisan Abu Bakar Atjeh, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia” (Stoddard, 1967: 306).

Rapat tahunan Jamiat Khair pada April 1911 memutuskan untuk mendatangkan para guru dari luar negeri. Terbilang di antaranya adalah al-Hasyimi, seorang kelahiran Tunisia yang pernah mengangkat senjata terhadap penjajah Prancis di sana. Oktober 1911, tambahan guru baru dari luar negeri berdatangan: Syekh Ahmad Surkati—guru dari Prof Rasjidi, menteri agama pertama dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia—Syekh Muhammad Thaib dari Maroko, dan Syekh Abdul Hamid dari Makkah (Haikal, 1986: 153).

Pengaruh gerakan Jamiat Khair tidak hanya terasa di Batavia dan sekitarnya. Hubungan kaum Arab-Indonesia dengan Arab-Singapura relatif akrab. Maka gagasan Jamiat Khair mengalir juga ke negeri itu. Seorang turunan Arab hartawan di sana, Syekh Muhammad al-Kalali, bekerja sama dengan Syekh Jalaluddin Thaher, seorang Minang, menerbitkan majalah ​al-Imam (Haikal, 1986:167—168).

Jamiat Khair melalui anggotanya, Sayid Muhammad bin Aqil dan Sayid Abdullah Alwi Alatas, membantu pendirian perseroan Setia Oesaha yang dipimpin oleh Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Haikal mencatat, perusahaan tersebut kemudian menerbitkan ​Oetoesan Hindia, majalah yang dikemudikan Pak Tjokro dalam menaikkan kesadaran kaum Muslim di Indonesia saat itu.

Deliar Noer dalam buku ​Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942, terbitan tahun 1980 (cetakan keenam 1996), halaman 104—105, menyimpulkan bahwa pendirian yayasan Jamiat Khair dan unit-unit pendidikannya didorong oleh pertimbangan-pertimbangan berikut.

  1. Pertimbangan praktis, pencerminan dari keengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari kemajuan yang dicapai oleh orang-orang Barat, yaitu orang-orang Belanda.
  2. Juga inspirasi akan prestasi yang dicapai oleh orang-orang Cina yang telah dapat berhasil menegakkan sebuah organisasi sosial di kalangan mereka saat itu.
  3. Usaha yayasan Jamiat Khair juga sebuah usaha orang-orang peranakan Arab terhadap Belanda yang dirasakan lebih menganakemaskan orang-orang Cina dibandingkan dengan perhatian terhadap masyarakat Arab atau Muslim.

Hingga hari ini, Jamiat Khair telah meluluskan banyak pemuda. Banyak dari mereka mengembangkan sekolah dan sistem pendidikan serupa Jamiat Khair di beberapa wilayah Indonesia.
 
Sumber foto:

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4e/Jamiat_kheir_dulu.jpg