IKIRU: Pengabdian Menebus Luka
Bagikan

IKIRU: Pengabdian Menebus Luka

Hidup itu singkatJatuh cinta lah, duhai gadisSebelum rambut mulai memudarSebelum nyala api hati berkedip dan matiBagi mereka yang menyadari,hari ini tidak akan pernah kembali.

Telaah atas film Ikiru (1952) Karya Akira Kurosawa

Beberapa perempuan membawa Ankyo Shūri To Umetate Chinjōsho (Petisi Perbaikan Gorong-gorong dan Tempat Pembuangan Akhir) kepada Departemen Pelayanan Publik. Ada air mampet penuh limbah menggenang di Distrik Kuroe. Warnanya hitam dan berbau tak sedap. Kulit anak-anak berbintik merah sejak kehadiran air itu. Nyamuk ramai pula bersarang di sana. Wilayah yang tergenangi sebenarnya cukup luas, sangat baik jika dikelola menjadi taman bermain. Begitu aduan mereka.

Pegawai Departemen Pelayanan Publik merasa masalah itu bukan wewenang mereka, itu urusan Departemen Teknik. Warga pun pergi ke Departemen Teknik. Tapi di sana, para pegawai merasa itu bukan wilayah kerja mereka. Sebab setiap usulan mengenai pembangunan taman, sudah seharusnya diurus Departemen Pertamanan. Pegawai Departemen Pertamanan melihat persoalan itu sebagai masalah kebersihan. Mereka menyarankan warga untuk datang ke Departemen Kesehatan.

Pegawai Departemen Kesehatan menyuruh mereka mengadu ke Departemen Sanitasi. Lalu mereka kembali diminta mengadu ke Departemen Pencegahan. Namun Departemen Pencegahan melihat aduan itu sebagai persoalan penyakit menular yang disebabkan oleh nyamuk. Itu adalah pekerjaan Divisi Pengendalian Hama. Analisa para pengendali hama lain pula, mereka melihat masalah utamanya ialah limbah yang bocor. Aduan itu lebih tepat disampaikan kepada Departemen Limbah yang menyarankan warga untuk menghubungi Dinas Pemadam Kebakaran.  

Dinas Pemadam Kebakaran keberatan untuk mengeringkan limbah itu. Menurut mereka, baik juga di sana dibangun sebuah taman. Anak-anak akan menyukai taman. Karena itu, para pengadu sebaiknya mendatangi Departemen Pendidikan, khususnya Komite Kesejahteraan Anak. Departemen Pendidikan baru saja memperbaiki banyak sekolah. Lagi pula kolam limbah itu tak hanya berpengaruh bagi anak-anak. Masalah yang diadukan nampaknya cukup besar. Oleh karena itu Pegawai Departemen Pendidikan menyarankan agar para pengadu menyampaikan keluhannya kepada Dewan Kota.

Anggota Dewan Kota memberikan akses langsung untuk mengadu kepada Wakil Wali Kota. Tentu saja Wakil Wali Kota sangat senang dengan aduan yang disampaikan secara langsung seperti ini. Itu lah kenapa ia benar-benar merasa seluruh tatanan birokrasinya telah sempurna. Sebab urusan semacam ini telah ada mekanisme penanganannya di Departemen Pelayanan Publik.

Di dalam akrobat ruwet birokasi tersebut, hiduplah seorang tua bernama Kanji Watanabe (diperankan oleh Takashi Shimura). Seseorang yang mendedikasikan nyaris seluruh waktunya untuk bekerja. Ia tak pernah mengambil cuti. Tiga puluh tahun ia tertimbun kertas-kertas yang selalu harus dicap. Ia selalu sibuk dengan tumpukan surat-surat yang selalu harus diurus. Walau sebenarnya apa yang ia kerjakan tidak pernah benar-benar bermanfaat bagi masyarakat umum. Yang ia perjuangan ialah dirinya sendiri, nama baiknya dan kedudukannya. Ia tidak pernah benar-benar bekerja untuk orang lain.

Dulu, sebelum benar-benar ditelan birokrasi ruwet yang merampas kedaulatan hidupnya, ia sebenarnya pernah “hidup” sebentar. Proposal untuk Meningkatkan Efisiensi Departemen pernah dibuatnya. Namun sepertinya itu tak pernah benar-benar berguna. Lama tersimpan di laci meja, mungkin puluhan tahun, melapuk dan tak pernah ia buka kembali. Proposal itu, berakhir sebagai pengelap tinta. Watanabe telah “mati”. Ia benar-benar hanya sebutir sekrup mesin birokrasi tua yang sering ngadat, mogok dan macet. Ia hanya bergerak karena tuntutan-tuntutan di luar dirinya.

Nyaris saja Watanabe memecahkan sebuah rekor, 30 tahun bekerja tanpa pernah absen satu hari pun. Namun hari itu ia tak pergi ke kantor, ia harus pergi ke dokter. Sakit di perutnya tak tertahankan lagi. Seseorang di ruang tunggu mengabarinya sebuah rahasia. Apabila dokter menyebutnya hanya mengalami maag biasa, itu artinya ia mengidap kanker perut. Dokter dan pegawai rumah sakit, sebagaimana birokrat macam Watanabe, selalu malas berepot-repot dengan persoalan yang sebenarnya. Dan dokter mengatakan Watanabe hanya mengalami maag ringan. Sebagai seorang birokrat kawakan, lelaki tua itu mengerti betul apa arti kata-kata itu. Maag jelas tidak merepotkan. Artinya, ia mengidap kanker perut. Umurnya tak akan lebih dari 6 bulan lagi.

Watanabe ingin segera memberitahu anaknya, Mitsuo, mengenai kanker perut itu. Akan tetapi tanpa disengaja ia malah mengetahui pikiran anaknya. Mitsuo telah lama jengah dengan kekolotan Watanabe. Ia tak senang tinggal di rumah tradisional orang Jepang dan ingin tinggal di rumah modern. Diam-diam Mitsuo bersama istrinya menghitung harga rumah jika dijual, tabungan Watanabe dan dana pensiun yang akan orang tua itu dapatkan. Cukup untuk membeli sebuah rumah modern. Mendengar hal itu, Watanabe urung menyampaikan persoalan perutnya. Ada keruntuhan.

Watanabe tahu dirinya tak dihormati dengan sungguh-sungguh. Di rumah, anaknya hanya mengincar kekayaannya. Sementara di kantor, orang-orang terus mengendap-endap mengincar jabatannya. 30 tahun pengabdian kepada negara, tanpa makna, tanpa penghormatan yang hakiki. Namun ia tak dapat mengelak dari kepalsuan itu. Sebab sesungguhnya ia hanya berurusan dengan kertas-kertas selama 30 tahun. Ia tak pernah benar-benar bekerja untuk kenyataan. Kebanggaan yang selama ini ia sandang, ternyata hanya basa-basi yang amat rapuh.

Watanabe merabai masa lalunya dengan lunglai. Ia tak menemukan arti dalam kehidupan yang telah ia jalani. Keberadaannya di hadapan kolega dan bahkan anak-menantunya penuh dengan kepalsuan. Keramahan, penghormatan dan sopan santun hanya omong kosong. Tak ada artinya. Mereka semua hanya mengincar segala jerih payahnya tanpa mampu melihat kemanusiaannya.

Namun Watanabe tak menyerah dengan semua kepedihan itu. Telah beberapa hari ia tak masuk kantor dan 50.000 Yen dari akunnya telah ia tarik. Keluarga dan kolega di kantor mulai bertanya-tanya tentang tindakan Watanabe. Apa yang terjadi pada orang tua ini? Perkiraan-perkiraan tak berdasar kemudian bermunculan. Keluarga menyangka Watanabe memiliki kekasih muda. Ia mabuk dalam cinta sehingga mengabaikan pekerjaan dan keluarga. Mereka menyangka Watanabe telah mengalami kemerosotan moral. Watanabe tak difahami, tak dimengerti. Orang-orang tak pernah benar-benar meraba kemanusiaannya sebagaimana ia sendiri tak pernah menyungguhinya.

Birokrat tua itu tak peduli. Ia mencari hidup di sebuah warung arak. Kebetulan di sana ada seorang penulis novel yang memerlukan pil tidur. Kebetulan kedua, Watanabe membawa beberapa pil tidur. Dua orang ini kemudian berbincang. Kepada si penulis, si calon mati menceritakan persoalan perutnya. Si Penulis terkejut. Seseorang yang menyiram perut berkanker dengan arak sama saja sedang bunuh diri. Namun Watanabe memang tidak tahu bagaimana cara menyongsong kematian. Ia sangat hemat dan kehematannya menjadikan ia amat pelit bahkan terhadap dirinya sendiri. Sepanjang masa lalunya ia tak sempat minum-minum dengan uangnya sendiri. Rasanya, di hidup yang bersisa 6 bulan, tak mengapa ia mencari sekadar kesenangan.

Watanabe tak pernah tahu pasti apa yang sesungguhnya ia lakukan selama hidupnya. Bukan kanker yang menakutkannya, tapi kesadaran bahwa ia mengalami ketakbermaknaan akut. Bukan perutnya yang sakit, tetapi jiwanya. Perih-ngilu di perut bisa ia tahan, tapi ketakbermaknaan menyiksa jiwanya. Kanker lah yang membangunkannya, menamparnya bertubi-tubi dengan kenyataan. Kematian telah mengirimkan ancamannya. Watanabe tak dapat memohon pertolongan siapa pun. Satu-satunya cara ialah menghadapi kematian itu sendirian. Kematian pada akhirnya ialah persoalan pribadi. Tapi bagaimana cara menghadapi kematian?

Ia merasa bodoh dan marah terhadap dirinya sendiri. Arak yang ia minum tentu saja tak pernah enak. Tak ada yang enak untuk orang dengan kanker perut. Tapi Watanabe terus menenggak arak itu untuk melupakan kanker dan segala hal lain yang menyakitkan. Walau hanya sesaat. Lelaki murung itu telah membeli kembali dirinya dengan racun, sake yang mahal. Ia tak lagi memungkiri kepedihan, melainkan menyadarinya sebagai bagian dari hidup.

Lebih dari itu, Watanabe ingin mengamuki nasib dengan 50.000 Yen yang ia sisihkan dari gajinya selama berpuluh tahun. Ia ingin menghabiskan tabungan itu dalam waktu semalam saja. Demi hidup dan menebus sekian ketakbermaknaan selama masa lalunya. Malangnya, ia tak tahu bagaimana cara menghabiskan uang sebanyak itu. Si Penulis Novel menjadi penolong bagi Watanabe sebab ia tahu bagaimana caranya.

Di malam pertemuannya dengan Watanabe si penulis mendapat pencerahan, bahwa kemalangan ialah jalan bagi kebenaran. Kanker telah menghadirkan kesadaran pada Watanabe, kesadaran akan keterbuangan, ketakbermaknaan dan penderitaan yang musti ditanggung kemanusiaan. Malam itu si penulis menjadi Mesophanes (Iblis) yang membisiki Watanabe. Namun bukan kejahatan yang ia bisikkan, melainkan pembebasan.

Keduanya lalu menjingkraki malam. Menjejaki kesenangan demi kesenangan. Arak, nyanyian, judi, perempuan dan segala ketakpantasan dan kataksopanan mereka susuri dengan seksama. Di malam itu Watanabe terus menggali makna diri di kerlip lampu, tetes arak, lantunan lagu, putaran keberuntungan mesin judi dan senyum merona perempuan. Ia terus memberontaki hidup. Telah lama ia diperbudak oleh hidupnya sendiri, kini saatnya ia berdiri dengan teguh sebagai seorang Tuan bagi kehidupan. Watanabe ingin menjadi serakah pada segala kenikmatan. Pada waktu-waktu yang lalu ia melihat keserakahan sebagai sebuah kekejian, tetapi di malam itu keserakahan telah menjadi kebajikan baginya.

Ecce Homo ujar si penulis kepada seorang pelayan bar. Ungkapan yang digunakan Pontius Pilatus ketika melihat Yesus menggotong tiang salib dengan kepala berdarah-darah bermahkota duri mawar. Ungkapan yang juga digunakan Nietzshe untuk autobigrafinya. Sebuah pandangan tentang diri dari orang yang mengalami keadaan sakit (bahkan kegilaan) dalam waktu yang panjang.

Ecce Homo!!! Lihat lah orang itu!!! Lihatlah Watanabe!!! Orang ini memikul beban berat yang disebut kanker. Orang lain akan mati seketika saat kanker menyerang dirinya. Tapi orang ini tidak. Saat ia menyadari kanker di perutnya, saat itulah dia memulai hidupnya.

Malam terus berlalu, Watanabe membeli topi baru dan terus bersenang-senang. Sakit hatinya pada hidup ia tebus dengan kesenangan demi kesenangan. Ia telah merubuhkan moralitas yang selama ini mengungkunginya. Namun, satu-satunya kesadaran yang ia temukan dari pemberontakannya ialah sepinya hidup. Di sebuah tempat pelesiran malam, Watanabe bernyanyi dengan murung:

Hidup itu singkat
Jatuh cinta lah, duhai gadis
Sebelum merah mekar memudar dari bibirmu
Sebelum arus gairah mendingin di dalam dirimu
Bagimu yang tak mengenal hari esok

Hidup itu singkat
Jatuh cinta lah, duhai gadis
Sebelum rambut mulai memudar
Sebelum nyala api hati berkedip dan mati
Bagi mereka yang menyadari,
hari ini tidak akan pernah kembali

***



Odagiri (diperankan oleh Miki Santo) ialah seorang perempuan yang telah 1,5 tahun bekerja di Departemen Pelayanan Publik. Ia benar-benar bosan dengan pekerjaan yang hanya berurusan dengan kertas. Ia mencari-cari pimpinannya, Pak Watanabe, untuk menandatangani dan mengecap surat pengunduran-dirinya. Perempuan periang itu hendak bekerja di tempat yang menurutnya lebih manusiawi.

Pagi itu ia melihat Pak Watanabe yang baru pulang keluyuran dengan 50.000 Yen-nya. Dengan riang gadis Odagiri menyapa Pak Watanabe yang murung. Ia bertanya tentang cap, tetapi cap ada di rumah. Odagiri kemudian mampir ke rumah Pak Watanabe.

Alasan Odagiri mengundurkan diri ialah karena bosan. Menurutnya kerja di Pelayanan Publik dapat membunuhnya. Setiap hari hanya kemonotonan yang ada. Ia tak tahan. Tidak ada hal baru yang pernah ia temui di kantor itu. Satu-satunya hal baru yang ia dapati ialah Watanabe mengambil cuti dan membeli topi baru.

Ujaran-ujaran Odigiri disampaikan dengan lugas, terus terang dan tanpa beban. Watanabe merasakan kejujuran. Odagiri tak memiliki beban dan tak memiliki ketakutan. Ia tak takut kehilangan jabatan, tak takut kehilangan pekerjaan, tak takut tak dihormati. Ia bebas merdeka, sesuatu yang tak dimiliki oleh Watanabe.

Di rumah Watanabe, Odagiri melihat sebuah piagam. Penghargaan untuk pengabdian Watanabe selama 25 tahun. Piagam itu telah berusia 5 tahun. Artinya telah 30 tahun Watanabe mengabdi kepada Pemerintah Jepang. Namun hal itu tak memberikan kekaguman kepada Odagiri. Ia melihatnya sebagai penderitaan. 30 tahun di tempat yang mengerikan. Terpendam dalam tumpukan kertas dan pekerjaan yang tak menapak di kenyataan.

Dulu Watanabe selalu bangga dengan piagam itu. Namun kini ia tak dapat melihat apa pun darinya. Ia bekerja demi anaknya, kini ia sadar, si anak hanya tertarik pada hartanya. Sementara di kantor, ia semakin menyadari bahwa ia hanya melindungi kedudukannya dan orang lain terus menunggu kesempatan untuk menggantikannya. Apa yang ia bangga-banggakan nyatanya hampa dan sublim.

Keterusterangan Odagiri mengejutkan sekaligus melahirkan kesadaran bagi Watanabe. Selama ini semua orang selalu menyatakan hal-hal baik. Watanaber pun berfikir semuanya baik. Padahal tidak. Odagiri membuka kesadaran itu. Kebanggaan-kebanggaan semu yang dibangun puluhan tahun nyatanya hanya lelucon dan kesia-siaan.

Odagiri ialah wanita yang dapat meraih kesenangan hanya karena mendapatkan sepasang stoking baru. Gairah hidupnya amat besar. Dunia serba terang di matanya. Ia merdeka dari belenggu-belenggu sosial. Sebaliknya, bagi Watanabe, dunia serba muram.

Keadaan yang bertolak belakang membuat Watanabe mencintai Odagiri. Tidak, ini bukan cinta birahi seorang tua bangka kepada gadis muda (seperti yang disangka orang-orang kantor dan keluarganya, mereka tak pernah benar-benar memahami Watanabe). Lelaki lamur itu mencintai segala sesuatu yang ada dalam diri wanita muda itu. Kemudaan, keriangan, kesehatan, kecerahan dan terutama gairah yang begitu besar.

Langkah Odagiri nampak begitu ringan dan riang. Banyak hal yang membebani Watanabe, namun bagi gadis itu, beban-beban itu terlihat seperti kapas. Odagiri dengan tenang dan ceria menceritakan “kemunafikan” di kantor. Ia menjuluki setiap orang dengan julukan-julukan lucu. Seseorang yang suka mengelak ia juluki sebagai siput laut. Sementara penjilat ia juluki sebagai kertas lengket penangkap lalat. Ia juga punya julukan untuk Watanabe: mumi. Tentu saja lelaki tua itu sedih, tetapi ia tak dapat mengelak. Ia memang telah menjadi mumi hidup yang menunggu mati. Pedih. Namun penderitaan Watanabe ialah sekadar bahan tertawaan bagi gadis muda itu. Pelan-pelan Watanabe pun dapat mentertawai hidupnya yang murung.

Watanabe bercerita mengenai perutnya kepada Odagiri. Sesuatu yang tak dapat ia katakan kepada anak dan kawannya. Ia berharap perempuan muda itu memberitahunya perihal rahasia hidup. Tentang gairah. Namun Odagiri tak tahu dan tak pernah memikirkannya. Ia hanya makan dan bekerja. Ia tak dapat menjelaskan mengapa ia begitu bergairah terhadap hidup. Mengapa ia memiliki elan vital yang mengguar-guar pada hidup.

Watanabe putus asa. Ia merasa kembali ke sebuah kenangan muram di masa kecil. Ia pernah tenggelam di sebuah kolam. Tangannya menggapai-gapai tetapi tak seorang pun hendak menolong, termasuk kedua orang tuanya. Semua tampak gelap. Itu lah yang ia rasakan sekarang. Ia merasa akan tenggelam oleh kematian namun tak ada satu pun tangan yang dapat menyelematkannya. Ia berharap pada Odagiri tetapi Odagiri tak mengerti harus berbuat apa. Watanabe tua telah berjuang dalam kepanikannya tetapi tak seorang pun hendak menolong.

Odagiri tak mengerti apa pun. Ia hanya melakukan segala hal dengan sederhana. Sekedar bekerja di pabrik boneka pun dapat menjadi sesuatu yang menyenangkan. Saat membuat boneka, ia merasa seperti sedang bermain dengan setiap bayi di Jepang. Perempuan itu tak mengerti kenapa Pak Watanabe tidak mencoba melakukan sesuatu yang berguna untuk orang banyak. Tapi apa yang bisa dikerjakan di kantor dengan birokrasi mogok semacam itu?

Pencerahan!!! Watanabe menemukan sesuatu yang dapat ia lakukan. Ya, ia menemukannya. Watanabe tua dengan kanker perut. Kelukaan telah memberinya kelahiran baru. Ia menjadi manusia. Tragedi telah membuatnya kembali lahir. Penderitaan memperbaharui jiwanya.

Kepala Bagian Departemen Pelayanan Publik kembali masuk kantor. Orang-orang yang telah mengharapkan kepergiannya, dengan harapan dapat menggantikan kedudukannya, terkejut. Lebih dari itu, yang mereka temui bukanlah Watanabe yang seperti mumi. Melainkan seseorang yang memiliki hasrat yang kuat untuk berbuat. Seseorang dengan gairah menggebu-gebu untuk melakukan sesuatu.

Ankyo Shūri To Umetate Chinjōsho ialah gairahnya. Saling lempar tanggungjawab dirobeknya. Kerja yang nyata dilakukannya. Ia hadir dengan semangat baru, urusan masyarakat harus diutamakan. Persoalan mereka bukan hanya persoalan Departemen Pelayanan Publik atau Penanganan Limbah. Semua departemen harus turut merasa bertanggungjawab.

Wanatabe tak lagi berdiam dengan kertas-kertas di dalam kantornya. Dengan sepeda ia mengunjungi lokasi, melihat persoalan secara langsung. Segala hal yang lambat dan sulit dalam birokrasi ia tembus. Dinding-dinding ketidakmungkinan ia rubuhkan. Dengan sabar ia mengurai macam-macam kekusutan yang telah akut dalam birokrasi Jepang.

Susah payah ia menjajakan proposal kepada setiap bagian. Hinaan, hambatan bahkan ancaman ia hadapi dengan hasrat yang mengguar. Seperti anak muda dengan ciuman pertama, ia telah merdeka dari ketakutan-ketakutan. Bahkan ia tak punya waktu untuk membenci orang-orang yang menghina atau merendahkan proposalnya. Umurnya tak lebih dari 6 bulan. Watanabe sangat gigih memperjuangkan kehadiran sebuah taman di Distrik Kuroe.

Taman itu akhirnya berdiri, persoalan limbah terselesaikan. Semua orang merasa paling berjasa membangunnya. Wakil Walikota, kepala bagian pertamanan ramai-ramai memamerkan jasanya atas Taman Kuroe. Sementara Watanabe hanya duduk di kursi paling belakang ketika taman itu diresmikan. Ia dilupakan, tapi ia tak memerlukan penghormatan semu manusia.

Masyarakat tahu Watanabe lah yang berjasa membuat taman itu. Orang-orang mencintai Watanabe, seorang tua yang telah menebus kesia-siaan 30 tahun hidupnya dengan sebuah taman yang indah. Lelaki itu telah mengorbankan diri sendiri untuk melayani banyak orang. Ia telah menemukan hidupnya, walau sesaat.

Watanabe kemudian meninggal di taman itu. Membeku di ayunan yang sangat disenangi kanak-kanak. Ia ditemukan tewas oleh seorang polisi. Di malam yang dingin ia menyanyikan lagu yang merdu. Ia mengiringi kematiannya dengan kesadaran akan kemanusiaannya yang penuh luka,

Hidup itu singkat
Jatuh cinta lah, duhai gadis
Sebelum rambut mulai memudar
Sebelum nyala api hati berkedip dan mati
Bagi mereka yang menyadari,
hari ini tidak akan pernah kembali.

(Bagian 1, Ikiru: Pengabdian Menebus Luka)