HAMKA dan Kisah Sederhana Tentang Cinta
Bagikan

HAMKA dan Kisah Sederhana Tentang Cinta

Disadur dari buku HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, Jilid 1 (Penerbit Bulan Bintang, 1974, hlm 29-31).

Seorang anak kecil, tentu bisa saja tertarik dengan lawan jenisnya. Kemampuan mengenal jati diri, jenis kelamin dan keberbedaan diri dengan lawan jenis tentu amat penting ditanamkan sedini mungkin. Tentu saja ketika anak kecil tertarik kepada kawannya, amat berbeda dengan ketertarikan orang dewasa.

Soal suka-menyukai begini pernah juga dialami HAMKA kecil. Semasa kecil, HAMKA mengaji kepada kakaknya di Padang Panjang. Agak payah rupanya anak ini dalam mengaji. Sampai-sampai kakaknya naik darah melihat Buya yang dianggap susah dalam menangkap apa yang diajarkan. “Mengaji Surat Amma hampir tiga bulan. Mengaji juz Alif Lam, juz yang pertama, itulah terlalu lama…. Tetapi kawan kita yang hendak melepaskan diri dari juz pertama itu, sangatlah sulitnya…. Kalau tidak datang suatu “penolong” barangkali lamalah dia akan dapat menamatkan Qur’annya.” Begitu cerita HAMKA.

“Penolong” itu namanya Khamsinah, seorang anak perempuan. Jarak dua bulan dari Buya pertama mengaji, barulah anak perempuan itu ikut mengaji. Rupanya HAMKA kecil ini menjadi cepat maju dalam mengaji setelah kedatangan kawan perempuannya ini. Pengakuan HAMKA: “Heran, semangat kawan kita (maksudnya Buya HAMKA) menjadi timbul kalau berdua mengaji dengan Khamsinah. Juz pertama telah lepas. Juz Sayaqulu ditempuh dengan sulit. Juz Tilka, tidak sulit benar lagi, tetapi berdua. Lan Tanaalu sudah mudah, tetapi berdua. Demikianlah seterusnya, maju dan maju, tidak tersangkut-sangkut lagi, sebab berdua!”  

Satu ketika, HAMKA kecil lekas-lekas pulang dari sembahyang di surau. Pikirnya, tentu Khamsinah sudah ada di tempat mengaji. Dengan gembira ia pergi ke sana. Sayang, Khamsinah tidak ada. Hari itu HAMKA kecil lesu dalam mengaji. “Dia tidak bertanya. Dia duduk saja dengan malasnya. Kajinya dibacanya juga tetapi tidak bersemangat. Suaranya mengaji tidak begitu keras. Sebetulnya tentu ada yang ditunggunya, yaitu Khamsinah”.

Ternyata Khamsinah sedang pulang kampung. Demikian keterangan Khalidin, adik Khamsinah kepada si kecil HAMKA. Setelah dua hari, barulah ia kembali. Selama dua hari itu, anak yang kelak menjadi tokoh masyhur itu mengaji dengan lesu. Tidak maju-maju pelajarannya. Sekembali dari kampung, Khamsinah bertanya kepada sahabatnya, “Sampai di mana kajimu sepeninggalku, Malik?” Malik adalah panggilan HAMKA semasa kecil.

“Tidak saya sambung!”

“Mengapa?”

“Supaya kaji kita terus sama-sama dan tamatnya pun sama-sama.” Begitu jawab putera Haji Rasul itu. Khamsinah kecil gembira mendengar jawaban itu.

Bulan Puasa tahun 1954, HAMKA akan naik kapal dari Teluk Bayur hendak ke Jakarta. Setelah sekian lama, bertemulah beliau dengan Khamsinah. Sudah 35 tahun jarak dari usai mengaji bersama. Akan tetapi Buya masih ingat wajah teman mengajinya itu.

“Kau Khamsinah?”

Perempuan itu tercengang dan suaminya tersenyum, “Memang, dia Khamsinah, istri saya.”

“Saya Si Malik! Kami sama mengaji di Jembatan Besi, Padang Panjang lebih 30 tahun yang lalu.”

Kedua suami istri itu kagum karena kekuatan HAMKA. Mereka sangat terharu, merasa bangga, lalu keduanya mengulurkan tangan. Rangkayo Khamsinah memperkenalkan kepada anaknya yang dibimbingnya, “Inilah Engku HAMKA! Dia adalah mamakmu (mamak=paman), ulurkan tangan!”

Disadur dari buku HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, Jilid 1 (Penerbit Bulan Bintang, 1974, hlm 29-31).