Gedung Pencakar Langit dan Keangkuhan
Bagikan

Gedung Pencakar Langit dan Keangkuhan

Di balik gagahnya bangunan-bangunan megah itu tersembunyi kekerdilan jiwa-jiwa manusia. Juga mengerdilkan hakikat kemanusiaan. Padahal, gedung-gedung harusnya memanusiakan manusia.

Gedung-gedung yang mencakar-cakar langit memang simbol yang pas untuk menunjukkan sebuah kota sudah modern. Soekarno, untuk menunjukkan kemajuan bangsa Indonesia kepada dunia, membutuhkan bangunan pencakar sebagai corongnya. Istilah yang digunakan dalam buku-buku sejarah adalah politik mercusuar. Soeharto, yang menggantikan Soekarno di tampuk kepresidenan, juga melihat bangunan raksasa sebagai simbol penting demi menunjukkan cita-cita pembangunanismenya.

Ya, gedung-gedung yang dibangun mencakar-cakar awan itu menjadi syarat penting sebagai pertunjukan kemajuan sebuah peradaban bagi anak-anak manusia. Oh, ya, ‘kemajuan’, ‘ketinggian’, peradaban banyak yang melulu diukur oleh orang-orang dengan bangunan. Tentu saja teknologinya.

Gedung memang ikon kemegahan manusia. juga bisa menjadi ikon kezaliman. Di Jakarta, banyak gedung-gedung berdiri di atas airmata. Orang-orang Betawi di Kuningan harus merelakan tanahnya untuk diserahkan kepada pemerintah dengan harga murah, demi ‘pembangunan’. Kalau tidak, maka mereka dianggap sebagai anasir komunis. Anak-anak Betawi di Senayan harus ikhlas kehilangan kampung halaman, berkorban demi Negara atas nama ‘NEFO’, ‘Manipol Usdek’, ‘Nasakom’, atau istilah apapun itu.

Ah, di zaman kini juga. Kawasan Pasar Ikan, Cilincing, dan banyak wilayah lain ramai-ramai diraibkan orang-orangnya untuk didirikan apartemen. Demi ‘Nawacita’, ‘Indonesia yang bersaing di dunia internasional’ , ‘Menyaingi Singapura’, ‘Jakarta Megapolitan’, dan lain sebagainya.

Di balik gagahnya bangunan-bangunan megah itu tersembunyi kekerdilan jiwa-jiwa manusia. Juga mengerdilkan hakikat kemanusiaan. Padahal, gedung-gedung harusnya memanusiakan manusia.

Sumber gambar: Peter J.M. Nas (editor), Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Leiden: Leiden Unversity Press, 2011, halaman 37