Bukan Enggak Bisa Bangun Pagi, Tapi Enggak Biasa Tidur Awal Waktu
Bagikan

Bukan Enggak Bisa Bangun Pagi, Tapi Enggak Biasa Tidur Awal Waktu

Dengan hati yang damai, tidurpun akan nyenyak dan bermutu. Bangun pagi bukan lagi masalah besar. Jangan bangun pagi, bangun sebelum shubuh pun siap. Tak perlu lagi terburu-buru.

Adakah di antara kita yang tidak pernah bangun kesiangan? Bisakah kita selalu memulai aktivitas sebelum matahari terbit dengan sangat sigap dan antusias? Atau mampukan kita senantiasa terjaga di sepertiga malam terakhir untuk bercengkrama mesra dengan Tuhan Maha Pencipta  hingga fajar tiba? Alangkah indahnya jika kita memulai hari dengan jiwa, pikiran, dan tubuh yang senantiasa segar, penuh semangat dan vitalitas. Siap menyambut hari dan segala tantangan yang menyertai.

Namun, banyak di antara kita kerap terburu-buru diburu waktu karena matahari muncul terlebih dulu. Rasanya kita baru tidur sebentar saja, ternyata malam sudah sejak tadi berlalu. Bangun terkejut karena alarm berbunyi atau panggilan ibu yang tak henti. Panggilan ibu biasanya masih dapat disebut keberuntungan. Kalau sampai ayah yang membangunkan, bisa lain cerita. Panggilan akan digantikan siraman air dingin atau sebatan rotan yang tak sekadar mampir.

Kesiangan selalu membuat kita terburu-buru. Buru-buru mandi, pakai baju, shalat subuh jika perlu. Sejurus kemudian mematut diri sesaat di depan cermin, memastikan penampilan kita tidak mengenaskan. Bagus jika sempat sarapan. Sering kali hal itu terpaksa dilewatkan karena ingat jalan raya sudah macet sesak. Daripada harus menikmati deru suara kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan tak sabaran, lebih baik tak sarapan. Macet di negeri ini selalu menguji emosi dan kekuatan iman. Mengulur waktu lima menit saja, bisa berarti perjalanan akan menghabiskan waktu dengan selisih satu jam atau lebih dari jadwal sampai seharusnya.

Kita terburu-buru karena tak tertib waktu. Sering tergesa-gesa karena belum mampu mengatur diri. Kata trainer tahun-tahun belakangan ini: yang harus diatur itu diri bukan waktu, karena waktu tidak berubah, sampai kiamat akan tetap 24 jam, maka diri kita yang harus menyesuaikan tiap detik dan menitnya.

Mungkin kita memang salah sejak awal hari. Bukan tak bisa bangun pagi tetapi tidak membiasakan diri tidur di awal waktu. Bagaimana kita akan mampu memaknai hari-hari kita jika diawali dengan rentetan ketergesaan?

Hal ini boleh jadi berawal dari pemahaman waktu yang kurang tepat. Kita seringkali beranggapan hari dimulai pada pukul 00:00 teng. Padahal kita adalah umat yang diajarkan untuk memahami bahwa pergantian hari terjadi sejak matahari tenggelam. Tuhan telah menyuratkan dalam kitab suci bahwa dalam pergantian siang dan malam ada pelajaran bagi insan yang mau berpikir. Maka sewajarnya kita mempersiapan penutupan hari dan menyambut hari baru sejak maghrib. Menyambut dengan syukur dan khusyuk sehingga sejak senja kita bertasbih, bertahmid dan beristighfar lebih banyak. Berupaya meraih ketenangan di tengah kesibukan. Menggunakan malam sebagaimana fungsinya: untuk beristirahat setelah seharian beraktivitas. Mengisi kembali energi yang telah banyak digunakan.

Kita tidak perlu tidur 8 jam atau lebih. Jika ini terjadi, kita akan menghabiskan sepertiga umur kita untuk tidur. Tapi kita juga bukan Pak Habibie, yang menurut kabar, tidur hanya 1-2 jam dalam sehari. Sebenarnya, bagi orang dewasa, tidur berkualitas selama 3-5 jam itu cukup. Tapi yang harus benar-benar diperhatikan adalah kapan kita tidur dan kapan kita bangun. Tidak sama kualitas tidur 5 jam dari jam 22:00-03:00 dengan tidur 5 jam dari jam 01:00-06:00.

Karena organ tubuh kita memiliki jam piket, ada keteraturan dan ketertiban yang mesti dijaga. Pada pukul 21:00-23:00 jam piket limpa lemah, terjadi proses pembuangan racun dan regenerasi sel limpa. Pada pukul 23:00-01:00 jam piket organ jantung lemah, jika masih terjaga dapat melemahkan fungsi jantung. Sedangkan jam piket liver (hati) untuk membuang racun dalam tubuh berkisar antara  pukul 01:00 sampai 03:00 dini hari. Kalau pada waktu tersebut tubuh masih terjaga, maka limpa, jantung dan hati tak akan bekerja optimal. Ditambah lagi asupan nutrisi tak memadai, tak heran kalau thypus dan berbagai penyakit senantiasa melangganan orang-orang yang sering begadang. Organ tubuh mereka selalu bekerja ekstra di saat seharusnya beristirahat.

Padahal jauh-jauh hari Bang Rhoma sudah mengingatkan:

Begadang jangan begadang!
Kalau tiada artinya,
Begadang boleh saja kalau ada gunanya.


Jadi, apa gunanya begadang? Sebagai manusia, tak jarang kita merasa menjadi makhluk yang paling sibuk sedunia, hingga menyepelekan urusan tidur. Menunda sampai larut malam, karena yang terpenting tugas pekerjaan sudah selesai semuanya. Meski ada pula yang Tuhan uji dengan rizki yang didapatkan melalui pekerjaan dengan shift malam. Tapi ada yang tidak harus bekerja tapi menyengaja tidur larut. Apalagi jika Liga Seri A, La Liga, Premier League, Champion League, atau Piala Dunia sedang terselenggara. Atau gandrung drama Korea yang serinya bukan habis sekali tayang.

Selain itu, ada insomnia yang disebut-sebut sebagai gejala sulit tidur pada malam hari. Gangguan ini menjadi pembahasan tersendiri dalam kajian psikologi. Stres berupa kecemasan, kegelisahan, ketakutan, perasaan bersalah, d.s.b. ditengarai sebagai faktor yang paling berpengaruh.

Bagi mahasiswa apalagi yang belum menikah, stressor (keadaan yang dapat menimbulkan stres) biasanya berupa kiriman uang bulanan dari orang tua yang telat; tugas-tugas belum selesai, padahal batas waktunya semakin mendekat; skripsi yang tak kelar-kelar; merenungkan masa depan setelah jadi sarjana di tengah persaingan dunia kerja kelak; hingga jodoh yang belum kunjung datang. Kalaupun sudah bertemu yang dirasa pas, maka bagaimana memunculkan keberanian menghadapi wali sang perempuan idaman.

Lain lagi jika sang mahasiswa tak hanya sekadar kuliah dan fokus mengerjakan tugas agar mendapat IPK tinggi, tapi dalam waktu bersamaan juga memilih menjadi aktivis sejati. Beban akan bertambah lagi. Tugas-tugas organisasi, koordinasi sana sini, penggodokan konsep, kebijakan, dan strategi demi civitas akademika juga rakyat Indonesia memiliki porsi tersendiri dalam benak.

Sedangkan bagi yang sudah menikah, beban yang dirasakan tak jauh dari kondisi keuangan di tengah perekonomian negeri yang tak kunjung membaik. Uang belanja terus membengkak, dan kini biaya listrik naik tanpa pengumuman. Biaya sekolah anak, cicilan KPR atau bayar kontrakan, ongkos PP kantor dan sekolah, dan kebutuhan lainnya yang tak terelakkan juga menjadi pendorong stres yang efektif. Apalagi jika hubungan keluarga tak seharmonis yang diharapkan. Pun interaksi di kantor dengan berbagai rutinitas monoton dan bos yang agak diktator atau rekan kerja yang menyebalkan. Tak heran banyak di antara kita yang terbiasa dengan pikiran yang runyam. Kalau terus begini, harapan bisa poligami akan semakin jauh dari jangkauan.

Pakar kesehatan juga menyebut-nyebut salah satu hal yang membuat sulit tidur adalah gadget. Sebagian kita memilih tetap bercengkrama dengan gawai pintar meskipun telah merebahkan diri di tempat tidur. Memeriksa akun-akun media sosial, ngobrol, sekadar menyapa, melihat-lihat berbagai foto dan video, atau berselancar santai membaca artikel-artikel ringan. Tanpa sadar cahaya yang tampil pada layar membuat mata sulit terpejam. Belum lagi radiasi yang diduga dapat mempengaruhi kesehatan otak. Para dokter bahkan sampai menganjurkan “hygiene tidur”, kondisi tidur yang bebas dari segala macam gangguan.

Banyak orang yang mengalami sulit tidur hingga harus minum obat penenang. Celakanya, salah satu jenis obat penenang golongan benzodiazepine bisa dibeli bebas di apotek tanpa resep dokter. Para panggunanya menganggap ini sangat aman. Padahal tanpa pengawasan dokter, mengonsumsinya di kadar tertentu bisa menyebabkan ketergantungan. Bahkan lebih jauh bisa menyebabkan gangguan ingatan.

Hal-hal di atas sesungguhnya menunjukan semakin jauhnya jiwa-jiwa kita dari Tuhan. Dia telah tegas menyatakan: dengan mengingat-Ku maka hati akan tenang. Sejatinya, kita tidak memerlukan penenang yang semu itu. Dengan syarat: kita mau untuk mampu.

Seharusnya kita umat yang mampu mengatur dan menertibkan diri sendiri. Tuhan menyuruh kita mengikuti Nabinya, bukan semau kita. Kita punya Nabi tapi tidak diikuti. Kita punya teladan tapi tidak kita pedulikan. Nabi mengawali aktivitas sejak pagi hari, tapi tidak merasa sangat letih di sore hari. Padahal baginda memiliki berbagai kegiatan. Baginda sangat memperhatikan waktu, tiap detik, menit dan jam agar senantiasa bermanfaat dan produktif.

Begitupun dengan tidur. Bagi kaum muslim seharusnya tidur ialah bagian dari ibadah, karena itu ada pula tuntunannya. Nabi kita membiasakan diri tidur selepas isya. Kecuali ada hal mendesak tentang keumatan yang harus dibahas dengan para sahabat. Ada kebiasaan dan aktivitas yang Nabi anjurkan sebelum tidur, yaitu wudhu, dzikr, berdoa, serta mengikhlaskan kejadian yang sudah berlalu di hari itu atau sebelumnya.

Dengan hati yang damai, tidurpun akan nyenyak dan bermutu. Bangun pagi bukan lagi masalah besar. Jangankan bangun pagi, bangun sebelum shubuh pun siap. Tak perlu lagi terburu-buru. Karena yang terburu-buru itu temannya setan.