Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hijriyah menunjukkan angka 4 Rajab 1333.
Pada masa kecilnya, Rasjidi bersekolah di Sekolah Ongko Loro, Kotagede. Kemudian pindah ke Kweekschool Muhammadiyah, Ngabean. Pada usia 14 tahun, Rasjidi yang mulai beranjak remaja meneruskan sekolah ke Sekolah al-Irsyad di Lawang, Jawa Timur. Ia berguru pada Syeikh Surkati.
Dalam usia belasan Rasjidi sudah mampu membaca dan paham buku-buku rujukan yang bisa dibilang berat, seperti buku Alfiah karya Ibnu Malik yang membahas gramatika Bahasa Arab. Buku lain yang dikuasai adalah Matan as-Sullam, buku tentang logika yang ditulis murid Plato, yakni Aristoteles. Kecendekian Rasjidi mulai terlihat ketika bersekolah di Perguruan al-Irsyad ini.
Selepas itu, Rasjidi melanjutkan pendidikan di Negeri Mesir. Rasjidi masuk sekolah Darul Ulum di bawah administrasi Universitas Al-Azhar. Untuk masuk ke sana, Rasjidi perlu mendaftar sekolah persiapan (Madrasah Taijiziyah), sambil mengikuti pendidikan privat dari intelektual Mesir kenamaan, Sayyid Quthb, ideolog Ikhwanul Muslimin. Rasjidi juga belajar aneka bahasa, seperti Inggris dan Perancis. Beberapa waktu berlalu, Rasjidi yang saat itu sudah hapal 3 Juz Al-Qur’an, akhirnya lulus dan diterima di Darul Ulum.
Selepas lulus dari Darul Ulum, remaja Kotagede itu memilih jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Kairo, hingga lulus dengan gelar Licence (Lc) pada tahun 1938 dan kemudian pulang ke Indonesia.
Belum sampai sebulan di tanah kelahiran, Rasjidi diminta keluarga untuk menikahi Siti Sa’adah, pada 26 Oktober 1938 di Kotagede. Setelah Rasjidi menikah, ia diamanahi oleh sang mertua untuk menjalani usaha. Sembari bekerja, Rasjidi juga mengajar di Mardrasah Ma’had Islamiy pimpinan KH. Amir dan bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) dan diperbantukan di bidang kesekretariatan. Ia juga bergiat di Islam Studie Club pimpinan Mr. Kasmat, suatu wadah diskusi bagi cendikiawan dan ulama.
Pada masa pemerintahan Jepang, Rasjidi pindah ke Jakarta mengurus Perpustakaan Islam yang bertempat di sebuah gedung di Tanah Abang. Saat itu Rasjidi sudah memiliki putri bernama Siti Noorainah berusia 1,5 tahun, serta putra bernama Abdulsalam yang baru berusia beberapa bulan. Anak dan istri turut dibpypng ke Jakarta. Ketika Bung Hatta membentuk badan pendidikan bernama Sekolah Tinggi Islam, Rasjidi kemudian diangkat sebagai sekeretaris senat guru besar. Beberapa waktu kemudian Indonesia merdekadan Rasjidi menyalin berita proklamasi kemerdekaan itu ke dalam bahasa Arab lalu menyiarkannya melalui radio.
***
Pada saat Kabinet Sjahrir dibentuk tanggal 14 November 1945, dengan 16 kementerian. Rasjidi kemudian ditunjuk untuk memimpin Kementerian Negara, berkantor di Jalan Cilacap 4, Jakarta. Menteri Rasjidi pergi ke kantor setiap hari dari rumahnya di Kebon Kacang dengan menggunakan sepeda. Setelah sekitar 2 bulan menjabat sebagai Menteri Negara, Rasjidi ditunjuk untuk menjadi Menteri Agama. Pada tanggal 3 Januari 1946 bertepatan dengan hijrahnya Pimpinan Pemerintah RI dari Jakarta ke Yogyakarta, Rasjidi berpidato di depan corong RRI Yogyakarta dan mengumumkan, bahwa sejak tanggal itu secara resmi Republik Indonesia mempunyai Kementerian Agama.
Rasjidi menjabat sebagai Menteri Agama pada Kabinet Sjahrir II hanya selama 7 bulan kurang sepuluh hari, karena pada 2 Oktober 1946 Sjahrir harus mengembalikan mandatnya kepada Kepala Negara, akibat kuatnya pihak oposisi.
Rasjidi menjadi bagian dari Delegasi Diplomatik RI yang dipimpin Haji Agus Salim dengan beranggotakan Mr. Nazir Dt. Pamuntjak, Abdul Kadir, Abdul Rachman Baswedan. Pada tanggal 17 Maret 1947, delegasi tersebut terbang menuju Mesir. Pengakuan diplomati dari negara-negara Arab kemudian diperoleh perkat usaha-usaha tim ini. Rasjidi kemudian terus berjuang di Timur Tengah dan sempat menjabat Duta Besar Indonesia di Mesir (1951-1953), kemudian ia pindah ke Teheran, Iran, menjadi Duta Besar di sana sekaligus merangkap pula menjadi Duta Besar untuk Afghanistan (1953-1954).
Selepas itu ia pulang ke tanah air dan menjabat Dirjen Penerangan Departemen Luar Negeri. Kemudian ditempatkan di Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) dengan kedudukan sebagai administrator. Selama di Jakarta Rasjidi dan keluarga tinggal di Jalan Diponegoro 42.
Setelah itu dengan bantuan Rockefeller Foundation Rasjidi kemudian melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Sorbbone, Perancis, selama 2 tahun. Ia lulus pada 23 Maret 1956 dengan disertasi berjudul “l’Evolution del’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Tjentiniâ€. Ijazah yang diberikan padanya ditandai dengan tulisan Faculte des Letters Doctorat de l’Universite de Paris.
Tak lama setelah itu, Rasjidi diangkat Anak Agung Gede Agung (Menteri Luar Negeri di Kabinet Burhanuddin Harahap) sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Islam Pakistan, berkedudukan di Karachi. Presiden Pakistan kala itu ialah Mayjen Iskandar Mirza, seorang militer yang menggantikan Ali Jinnah.
Pada tahun 1958, Rasjidi dan keluarganya –yang saat itu tinggal bersamanya di Karachi– berangkat ke Montreal, dengan melewati Hamburg dan London. Ia meminta cuti di luar tanggungan pemerintah (selama 5 tahunn) dan kemudan mengajar di McGill University. Rasjidi mengajar Hukum Islam dan Sejarah di Institute of Islamic Studies yang dipimpin Prof. Wilferd Cantwell Smith. Di sana lahir putra ketiganya bernama Qasim pada tanggal 6 Desember 1958.
Pada tahun 1963 Rasjidi meninggalkan Kanada, dan menjadi wakil direktur Islamic Centre di Washington, AS.
Pada 1967, ia kembali ke Tanah Air. Rasjidi diminta untuk bekerja di Rabithah Alam Islami yang juga punya kantor di Indonesia. Sambil bekerja, Rasjidi mulai mencari waktu luang untuk menulis buku, di antaranya adalah buku Filsafat Agama. Rasjidi juga diminta langsung oleh dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Subekti, untuk mengajar Hukum Islam di sana. Kemudian pada 20 April 1968, ditetapkanlah Rasjidi sebagai guru besar bidang Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam, dengan pidato pengukuhan berjudul Islam di Indonesia di Zaman Modern. Rasjidi juga mengajar Ilmu Filsafat pada program pascasarjana IAIN Jakarta.
Selama hidupnya, ia telah menulis banyak buku. Di antaranya:
1. Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi
2. Filsafat Agama
3. Islam dan Indonesia di Zaman Modern (Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UI)
4. Islam dan Kebatinan
5. Keutamaan Hukum Islam
6. Mengapa Aku Tetap Memeluk Agam Islam?
7. Islam Menentang Komunisme
8. Islam dan Sosialisme
9. Sikap Umat Islam Terhadap Ekspansi Kristen
10. Agama dan Etika
11. Di Sekitar Kebatinan
12. Kasus RUU Perkawinan Dalam Hubungan Islam dan Kristen (buku yang dilarang pemerintah kala itu)
13. Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi (diterbitkan kembali oleh Kalam Ilmu Indonesia dan Depok Islamic Study Circle Masjid UI, 2011)
14. Sidang Raya Gereja Sedunia di jakrta 1975: Artinya Bagi Dunia Islam
15. Koreksi Terhadap Dr. harun Nasution tentang “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknyaâ€.
16. Strategi Kebudayaan dan Pembaruan Pendidikan Nasional
17. Apakah itu Syi’ah?
18. Unity and Diversity in Islam (dalam Prof. Kenneth Morgan, Islam the Straight Path)
19. Terjemahan buku Bibel, Qur’an dan Sains Modern karya Maurice Bucaille
20. Terjemahan buku Janji-janji Islam karya Roger Garaudy
21. Terjemahan buku Humanisme dalam Islam karya Dr. Marcel Boisard
22. Terjemahan buku Persoalan-persoalan Filsafat oleh Titus cs.
***
Prof. Dr. H. Rasjidi wafat di Rumah Sakit Islam Jakarta, pada 30 Januari 2001, di usia 86 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Kotagede, dengan dihadiri para tokoh Dewan Dakwah seperti K.H. Hussein Umar, Hardi M. Arifin, dan tokoh Islam lainnya. Selain pencapaian dakwah yang sangat berharga bagi umat Islam di Indonesia, beliau mewariskan buku-bukunya untuk perpustakaan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, serta sebuah mobil tua untuk menunjang kegiatan lembaga tersebut.
Sampai saat ini, penghargaan tertinggi dari pemerintah yang diterimanya adalah Bintang Mahaputera. Beliau amat pantas menerima yang lebih dari itu, yakni Pahlawan Nasional, sesuai pencapaian perjuangan dan pengorbanannya untuk kejayaan agama dan bangsa. Sambil menunggu gelar tersebut diberikan oleh pemerintah, nama Prof. Dr. H. M. Rasjidi harus hidup sebagai pahlawan di dalam dada generasi muda Islam di Indonesia. Sebab beliau tetaplah Guru Bangsa yang amat perlu dihormati.
Referensi:
- H. Subagijo IN, Dari Saridi Ke Rasjidi, dalam 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi.
- Azyumardi Azra, H.M. Rasjidi B.A.; Pembentukan Kementerian Agama dalam Revolusi, dalam Menteri-menteri Agama RI.
- Wawancara dengan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, K.H. Syuhada Bahri dan Hardi M. Arifin.
- Website Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta http://yogyakarta.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=233692