Berbahasa Gaul Sebagai Pencapaian Kekerenan Masa Kini: Kuy Hal Emar-Emar!
Bagikan

Berbahasa Gaul Sebagai Pencapaian Kekerenan Masa Kini: Kuy Hal Emar-Emar!

Bentukan-bentukan baru yang semena-mena dalam cara bertutur kita bukan hanya bisa merusak bahasa, melainkan juga berpotensi disalahfahami serta mengabaikan rasa dalam berbahasa.

Lomba adalah adu kecepatan, ketangkasan, atau kekuatan. Di dalam peraduan, pemenang ialah mereka yang paling cepat, tangkas, atau kuat dalam mencapai target yang terdepan. Pada kehidupan sehari-hari, kita sebetulnya senang memperlombakan diri demi pengakuan dari orang lain. Meskipun tak ada lomba apa pun yang sedang diselenggarakan. Dalam bertutur, misalnya, kita ingin menjadi orang terdepan, pertama, atau setidaknya lebih tahu dari orang-orang lain. Jika kita melabel diri sebagai orang yang ber-EYD, kita sangat ingin menyunting atau minimal mengomentari kata-kata tak baku yang digunakan orang lain. Kalau kita mendaku sebagai anak gaul, kita merasa harus selalu memperbaharui dan menambah perbendaharan kata kekinian, menggunakannya sesegera mungkin, kalau perlu membuat tren paling gres sendiri.

Bahasa memang sesuatu yang dinamis. Dalam satu dekade, boleh jadi ada banyak kata baru yang diserap ke dalam bahasa resmi. Tapi, lebih banyak lagi kosakata atau variasi kata baru yang dipakai dalam pergaulan. Malah ada juga kata-kata yang menghilang karena tak terpakai atau tergantikan kata yang lebih berterima dengan zaman terkini. Bahasa pergaulan ini bisa menunjukkan rentang usia generasi pemakainya. Suatu bahasa pergaulan biasanya terus bergulir digantikan oleh tuturan baru dari generasi berikutnya. 

Generasi yang hidup pad era ‘90-an sampai awal 2000-an memiliki kata-kata pergaulan sendiri yang sampai sekarang sebagian masih digunakan. Sebut saja kata ‘boil’, ‘bokin’, ‘nyokap’, ‘bokap’, ‘bokis’ dan lain-lain. Ketika memasuki abad 21, Debby Sahertian sempat membuat kamus bahasa gaul sendiri. Ia memelesetkan beberapa kata tertentu yang dianggap dekat bunyinya dengan kata asli. Contohnya, lambat menjadi lambreta, gila menjadi gilingan, enak jadi endang, dan kencing jadi kencana. Memasuki 2010, perkembangan teknologi perangkat lunak telepon selular menyerbu Indonesia. Kita bisa berinternet dengan lebih murah dan mudah, juga mengakses secara cepat segala bentuk informasi. Semakin mudah pula kita  berkomunikasi dengan banyak orang lewat pesan singkat, obrolan, sampai bertelepon dengan video secara virtual.

Dengan keadaan demikian, kita mulai kerap bertutur menggunakan teks. Demi kepraktisan, tuturan ini pun banyak disingkat. Saat aplikasi chat Yahoo mulai populer hingga saat ini, kita mengenal berbagai singkatan, seperti ‘lol’, ‘rotfl’, ‘fyi’, ‘brb’, ‘imho’, ‘tbh’, sampai ‘btw’ dan ‘otw’. Akronim yang biasanya dipakai dalam pesan singkat atau memo kecil mulai kita pakai juga dalam pertuturan sehari-hari. Kini anak-anak yang lahir di awal abad ke-21 mulai beranjak dewasa dan “membuat” juga bahasa pergaulan sendiri yang dipengaruhi kebiasaan baru menyingkat demi kepraktisan dan kemudahan. Sebelum lanjut membaca, coba tebak, apa kira-kira arti kata-kata berikut:

1.    Sans
2.    Goks
3.    Halu
4.    Gece
5.    Dempa
6.    Kzl
7.    Leh uga
8.    Cotba

Kita mengutak atik bahasa dalam cara bertutur kita dengan macam-macam cara. Ada yang dibuat akronim, seperti ‘baper’ atau ‘gabut’. Ada yang memendekkan kata dengan  dua suku kata awalnya saja agar tak terlalu panjang, seperti ‘halu’ yang diambil dari kata ‘halusinasi’, dalam arti terlalu berharap sampai berkhayal. Ada yang hanya diambil suku kata awal lalu diberi akhiran huruf ‘s’ seperti ‘sans’ yang artinya santai dan ‘goks’ yang artinya gokil. Ada yang memenggal kata sesukanya, seperti ‘leh uga’ yang berarti boleh juga, ‘gece’ yang maksudnya gerak cepat, ‘dempa’ yang singkatan dari demi apa, dan ‘kzl’ yang artinya kesal. Ada pula yang membalik suku kata seperti ‘cotba’ yang berarti ‘bacot’. Terakhir, ada yang membalik huruf dalam suatu kata, misalnya:

1.    Aug
2.   Kuy hal
3.    Tebir
4.    Sabeb
5.    Emar-emar

Perubahan atau variasi kata baru dalam pertuturan kita memungkinkan pergeseran makna secara ekstrem. Misalnya, akronim ‘gabut’ yang berarti gaji buta beralih makna jadi tidak ada aktivitas yang bisa dilakukan, yang dapat dicontohkan dalam, “Gabut banget nih gue, cuma di rumah aja seharian.” Ember yang biasanya jadi wadah air atau cucian dibuat akronim dari ‘emang bener’ dan kini jadi bermakna orang yang tak bisa menjaga lisannya. Generasi milenial yang lahir pada 2000-an ini pun cukup pandai menghaluskan cacian dengan membuat istilah baru, seperti dafuq yang berasal dari makian paling sering dipakai pada Bahasa Inggris, “fuck”, memenggal anjir dengan sekadar jirr, atau menukar makian anjing dengan anjay yang maknanya malah berubah jadi keren atau menakjubkan, “Anjay, lo beli hp keluaran terbaru!”

Katanya, waktu dapat mengubah segala hal, termasuk bahasa dan cara bertutur kita. Lalu, perubahan itu sendiri merupakan keniscayaan yang tak dapat dielak terjadinya. Sebagai simbol atas makna, bahasa juga suatu gambaran diri penuturnya. Dan, manusia biasanya sangat ingin menunjukkan diri dan kemampuan atau menonjol sebagai yang terdepan. Bahasa kadang-kadang dilihat atau diumpamakan dengan fesyen yang selalu berusaha memunculkan desain atau model terbaru sepanjang waktu. Apa yang dahulu dianggap menarik belum tentu sama dengan sekarang atau masa yang akan datang. Kekhawatiran tertinggal arus zaman membuat kita suka bergegas atau bahkan berlomba menyerap lalu mengamalkan kata-kata dan istilah baru demi menjadi antimainstream atau kekinian. Menonjol, terdepan, dan dipandang.

Beberapa kosakata baru yang beredar dalam tuturan sehari-hari itu bisa kita telusuri asal kata hingga muasal bahasa yang diserap. Beberapa kosakata lainnya, atas nama kepraktisan dan kemudahan dalam era teknologi ini, disingkat atau dipenggal. Maka, mengetahui asal muasal kata tertentu, termasuk mengenali makna asli suatu istilah, jadi tidak penting-penting amat. Menyingkat atau memenggal kata bukan jadi soal, yang penting bisa terlihat beda atau jadi tren baru sekalian.

Bentukan-bentukan baru yang semena-mena dalam cara bertutur kita bukan hanya bisa merusak bahasa, melainkan juga berpotensi disalahfahami. Dengan hal ini, sebetulnya kita hanya mementingkan komunikasi tanpa memedulikan rasa yang dibawa dalam berbahasa. Sudahlah baru, disingkat, lewat alat, ditambah sulit dimengerti pula. Selain itu, etika pun terkikis secara tak karu-karuan. Seorang anak bisa saja menjawab pertanyaan orang tuanya lewat aplikasi chat dengan sekadar tiga huruf, ‘idk’, yang adalah singkatan dari I don’t know dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Dan, yang tak kalah menyedihkan, kita bisa mengucapkan suatu kata hanya karena sering dipakai dalam lingkungan pergaulan tanpa benar-benar memikirkan dengan baik maksud dan artinya serta merasakan kepantasan pengucapannya.

Fenomena semacam ini rasanya akan terus bergulir dari waktu ke waktu. Kita memang diberi kemampuan dan kesempatan untuk berkreativitas dan berinovasi seluas-luasnya. Akan tetapi, kita sering lupa jika segala hal Tuhan ciptakan dengan kadarnya masing-masing. Selain itu, perlu juga kita insyafi bahwa fenomena dengan kebenaran adalah dua hal yang berbeda. Jangan sampai kita sangka yang berupa fenomena adalah kebenaran yang tetap. Lalu, kebenaran yang tetap itu kita anggap fenomena belaka yang mungkin berubah.

Bahasa memang berkembang bahkan berganti, tetapi bukan berarti tidak ada kebenaran dan yang kekal di dalamnya. Kita boleh-boleh saja ingin berkembang dan meraih kemajuan, tapi jangan sampai tak betul-betul tahu makna perkembangan dan kemajuan. Apalagi, mengabaikan moralitas dan kepantasan. Jangan-jangan kita sudah kepayahan untuk memilah antara yang benar dan salah, atau yang pantas dan tidak, tetapi terus berkehendak untuk maju, berkembang, mengejar kebaruan tanpa kenal henti dan tujuan aslinya. Nggak capek gitu kejar-kejaran terus?