Belajar untuk Tak Menyimpan Benci
Bagikan

Belajar untuk Tak Menyimpan Benci

Pada masa akhir Orde Lama, lawan-lawan politik yang berbeda pandangan dengan penguasa ketika itu harus mendekam di penjara. Tanpa pengadilan. Di tangkap begitu saja. Mereka ditahan di berbagai tempat.

Pada masa akhir Orde Lama, lawan-lawan politik yang berbeda pandangan dengan penguasa ketika itu harus mendekam di penjara. Tanpa pengadilan. Di tangkap begitu saja. Mereka ditahan di berbagai tempat. Salah satunya di Madiun. Di tempat yang kemudian di kenal sebagai Wisma Wilis.

Setidaknya ada enam orang, sesudah ditahan di Jakarta selama 1,5 bulan, dimasukkan ke penjara Madiun oleh Presiden Sukarno, bulan Maret 1962. Alasannya, karena menurut "logika revolusi" harus ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Karena orang berenam itu tidak dapat dipandang sebagai kawan maka mereka dianggap musuh. Sangat sederhana berpikir menurut logika revolusi! Keenamnya baru dibebaskan sesudah Orde Lama diganti dengan Orde Baru, dan sesudah mereka mengalami hidup dalam tahanan empat tahun lebih.

Enam orang itu ialah Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, Sultan Hamid, Subadio, Anak Agung Gde Agung, dan Mohammad Roem. Kemudian pada awal tahun kedua, ditambah dengan Yunan Nasution, Mochtar Lubis, J.H. Princen, Isa Anshari, EZ Muttaqien, dan Muchtar Ghazali.

Dari enam orang pertama, yang dikumpulkan dalam satu blok, Subadio masih bujangan. Subadio merupakan salah satu pendiri Partai Sosialis Indonesia yang lekat dengan nama Sutan Sjahrir. Baru setelah setahun masa penahanan Subadio menikah dengan Maria Ulfah, mantan Menteri Sosial di Kabinet Sjahrir II.

Ada kebiasaan unik Subadio semasa di tahanan itu. Ibunda Subadio, Nyonya Sastrosatomo, berpesan kepada anaknya agar jangan tidur sebelum jam 12 malam, andai kata karena sesuatu sebab sebelumnya tertidur, sesudah jam 12 bangun sebentar. Ibu yang bijak dan penuh sayang itu meminta kepada Subadio untuk tiap malam: "mohon kepada Tuhan agar dosa Sukarno dimaafkan".

Sepintas lalu sikap "agar dosa Sukarno dimaafkan" sifatnya lunak, tetapi sekaligus sudah memberi penilaian bahwa Sukarno bersalah. Dan karenanya Sukarno berdosa. Tapi dosa yang masih dapat dimaafkan. Dapat dimaafkan ini suatu ancang-ancang agar Subadio jangan hidup dengan hati benci terhadap seseorang, sekalipun orang itu Sukarno.

Halnya Subadio itu berpengaruh juga pada Mohammad Roem. Pak Roem memutuskan untuk tidak membenci Sukarno. Sebab jika dipikir-pikir, tidak ada gunanya membenci itu.

Digubah dari artikel Mohammad Roem berjudul “Mengapa Anda Tidak Membenci Soekarno?” yang dimuat dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah (II), Penerbit Bulan Bintang, 1977, halaman 109-199.